Bagian 4 (Harapan yang Tumbuh dan Hati yang Patah)

29 1 0
                                    

***

Tepat hari ini, ditempat ini, aku ingat suatu masa ketika kita pernah bertemu.

Aku ingat bibirmu tak berhenti bercerita panjang dan lebar sebelum aku memulai sebuah pembicaraan. Layaknya seseorang yang tengah dibacakan dongeng, aku membayangkannya begitu dramatis. Aku tampak senang ketika kau berbagi cerita dari berbagai kejadian menyenangkan yang kau alami. Namun sebaliknya, aku pernah terluka ketika kau bercerita tentang masa lalu kelammu yang masih kau simpan sampai saat ini.

Dan aku pernah bertanya,

"apa kau sengaja membuatku kembali jatuh pada jurang kehancuran yang telah lama aku hindari?"

Hari itu, temaram sedang menyicil semburatnya yang bercorak rindu. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Malam kita pun menjadi sangat dingin. Bukan karna angin yang berhembus kencang. Namun tatkala aku tak mampu berkata sedikitpun, setelah mendengar kata-katamu sebelumnya.

Tentang seseorang yang tak pernah aku harapkan dalam hidupku. Seseorang yang harusnya tak pernah mengisi sekat-sekat diantara kita. Seseorang yang tak perlu memberikan pengajaran padamu. Sebenarnya, apa yang telah terjadi?

...

Lalu kita menuju ke sebuah tempat yang beralaskan meja makan. Satu-persatu, masa lalu telah memperkenalkanku dengan begitu baik. Perlahan-lahan, masa lalumu yang kelam mengajarkanku apa arti keikhlasan yang sesungguhnya.

Hingga tak sengaja kau meminum secangkir kopi milikku yang telah aku pesan. Aku segera mengingatkan, lalu kau tersedak saat itu juga. Senyum setengah tertawamu seketika membias diantara ribuan kesedihan yang kau miliki.

Kulihat di luar sana, orang-orang sibuk berbagi peran. Namun katamu, aku adalah satu-satunya orang yang mempunyai peran penting dibanding mereka. Menjagamu. Ya, menjagamu.

Lalu aku membalas dengan sesederhana mungkin, tanpa menaruh harapan sedikit pun padamu. Aku takut, harapan yang sempat ada akan kembali hancur. Dan untuk saat ini, biarlah aku menerima semua. Namun sebenarnya, entah, aku masih saja tidak terima.

Seketika dengan sengaja kau menaruh kepalamu di pundakku, lalu berkata,

"jangan pergi."

Suasana kembali menjadi hangat. Sementara di luar sana langit sedang meneteskan air mata dengan derasnya. Kau kembali memesan beberapa makanan penutup sebelum kita meningggalkan tempat. Aku paham sekali dengan raut mukamu yang muram itu, meski beberapa kali sering tertimbun oleh kehadiranku disampingmu, aku paham itu.

Lalu kau memegang erat jari-jemariku. Kau kembali mengeluarkan senyum, layaknya cermin, aku pun ikut tersenyum. Disatu sisi, aku mengalami kekecewaan yang begitu dalam. Disisi lain, aku bahagia melihatnya kembali pada kehidupan yang normal.

Namun, andai saja kau tahu, aku bahkan lebih bahagia bahwa aku ternyata benar-benar mengharapkan dirimu seutuhnya. Diam-diam tanpa diharapkan, harapan itu tumbuh kembali.

...

Tepat hari ini, ditempat ini, kukuburkan kenangan itu dengan tetesan air mata bercampur keikhlasan.

Merawat Ingatan, 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang