***
Tentang masa lalu yang tak bisa kumaafkan lagi, tak terasa, aku sudah berada di penghujung jalan. Akan kubawa kemanakah diri ini selanjutnya, Tuhan?
Seketika, hatimu sudah jadi milik orang lain. Secepat itukah hatimu berlabuh di tempat lain?
Sementara, kini yang kumiliki hanya ragamu yang katamu, telah ku miliki sepenuhnya. Sial, arus yang kau buat begitu deras. Hingga hatiku kau bawa begitu jauh, terlampau jauh. Hanyut dan tenggelam pada janji-janji yang tidak bisa kau buktikan sekali lagi.
Katamu, cinta adalah rumah. Lalu mengapa hatimu senang menepi pada gedung-gedung mewah? Katamu, jarak tidak pernah ada, lalu mengapa hatimu mudah jatuh pada setiap kilometernya?
Jika sedari dulu yang kau pilih dirinya, lantas mengapa aku yang menjadi awalannya? Bukankah kesetiaan melekat pada dirimu, sayang? Mengapa seketika hadirnya hilang diantara kita?
Masih ingatkah, saat ketika senja datang, kita senang duduk berdua dibawah pohon rindang, dipinggiran sungai, kau bilang,
aku yang senang datang, jangan pernah hilang.
Kini hatimu memang selayak perkotaan, yang mampu menampung ribuan hati yang sengaja berlalu lalang. Kau rela menjadi tempat bertepi dikala musim penghujan itu datang. Jika begitu, mengapa sedari dulu saja aku kau tinggalkan?
Sejak saat itu, tidak ada lagi senja yang indah. Pohon rindang itu sudah menggugur daunnya. Rencana yang kita buat, telah menjadi naskah yang sudah dihancurkan oleh pemeran didalamnya.
Namun tanpa kusadari, diam-diam rasa ini sudah terlalu dalam. Diam-diam kau sudah membuat rencana lain. Dan kini, diam-diam aku kau hancurkan begitu lebam.
Sekarang, senja kita sudah berubah menjadi temaram.
...
Dan, kini aku melihat kau telah bersamanya, kian lama hati ini terlampau pulih. Luka lama yang sudah kau buat, telah tertutup rapat-rapat.
Jelas memang, bukan aku yang seharusnya disana bersamamu. Melainkan sosok yang kau telah kau nantikan, yang kau ceritakan sebelum cerita kita itu dimulai.