***
Semua yang tak pernah kuharap, kini berubah menjadi aku yang selalu berharap. Dari hadirnya yang tidak pernah terlihat, seketika menjadi yang selalu dilihat. Tak kusangka, cintaku sudah seluas benua. Kepercayaanku kini sudah sedalam samudera. Sampai kita berada disebuah titik, memangnya kita ini sekuat apa?
Aku tak pernah menyangka jika kita memang ditakdirkan untuk melangkah bersama. Karena bersamamu menurutku adalah sebuah kebiasaan. Aku tak berpikir jika bersama adalah sebuah jawaban. Padahal dari dulu aku selalu bersikukuh untuk menjadi teman baik. Tak pernah mengharapkan apapun menurutku adalah keputusan yang terbaik. Untuk pertemuan kita yang pertama kali, a
kuucapkan terimakasih. Saat itu dirimu menjadi pusat perhatian alam sadarku, juga lembut tuturmu yang menjadi nomor satu.Jika memang takdir tidak mampu diubah, aku berharap rasaku padamu akan selalu bertambah. Tanpa sedikitpun kekurangan didalamnya. Kamu tahu, yang paling kubenci dalam hal ini adalah sebuah gegabah. Kita yang terlalu cepat mengambil keputusan dan seenak-enaknya bisa memainkan perasaan. Namun katamu, aku selalu percaya: bahwa kita memang tidak mampu mengubah takdir ataupun sekedar melawan. Kita hanya mampu merencanakan, menerka-menerka, dan selebihnya. Kita hanya bisa serahkan semua kepada Tuhan.
Sungguh aku tak begitu mengerti jika disemua disangkutpautkan dengan perasaan. Jika aku tarik semua kebelakang, kita memang bukanlah siapa-siapa. Hanya dua orang asing yang hanya bisa menyapa, namun tidak pernah mengenal lebih jauh. Laksana mentari yang kembali terbit di ufuk timur, kini aku anggap hadirmu sebagai bagian dari lembaran baru, halaman yang baru. Yang sanggup menggantikan coretan-coretan pahit di masa lalu. Seperti mentari yang kembali tenggelam dari kejauhan, rasa sakit yang kurasa dahulu, mulai sembuh secara perlahan-lahan.
Ada yang hilang lalu terganti, ada yang tumbuh lalu berkembang. Begitu hebat waktu mengubah segala sesuatu. Apakah hal ini semua hanya tentang waktu? aku rasa kita hanya butuh waktu sebentar untuk saling mendekatkan. Karena aku memang tidak main-main dengan segala sesuatu, juga bagimu yang sering memakai wajah serius saat kita sebangku.
Segala sesuatu juga butuh pembelajaran. Apakah aku bisa seperti ini bukan karena masa lalu yang kelam? Aku rasa kita sama-sama berjuang untuk melupakan seseorang yang kini hanya tinggal kenangan. Sungguh aku tidak perlu repot-repot untuk merencanakan apapun, tidak pernah mengerahkan tenaga sekuat apapun. Jika pada akhirnya kamu adalah segalanya alasan, aku benar-benar menemukan sebuah jawaban terbaik lewat sebuah ketidaksengajaan.
Dan muncul sebuah pertanyaan baru. Kita ini sekuat apa? apakah sekuat besi yang baru dipanaskan? atau selemah ranting pohon yang gugur dijalanan?
Aku tak pernah menyesal tentang sebuah keputusan. Karena pada dasarnya sebuah keputusan harus sejalan dengan keseriusan. Termasuk pada sebuah hubungan ini yang tidak ada kata terlanjur untuk dijalankan. Bagiku, kini kamu tidak pernah terlewatkan pada setiap barisan doa yang aku panjatkan. Entah bagimu, aku hanya ingin kita berjalan secara perlahan.
Dan untukmu, ada satu hal—kita tidak pernah bisa menentukan.