Bagian 6 (Melangkah Tanpamu)

28 1 0
                                    

***

Jika pada akhirnya semua tidak baik-baik saja, mengapa harus aku jalani semua jika dengan alasan terpaksa?

Mungkin orang lain setuju dengan apa pendapatku, juga mungkin tidak. Terkadang, merelakan seseorang pergi lebih sulit dibanding proses menyatakan jatuh cinta, atau lebih mudah dibanding melupakannya.

Semuanya tampak sulit, terlebih jika harus dibanding-bandingkan.

...

Hari ini sangat berbeda. Tidak seperti biasanya mata ini mampu terdiam cukup lama dalam satu pandangan. Diri ini menuntut dengan sebuah keputusan yang telah kubuat untuk diri ini, dan seseorang yang sudah menjadi orang lain.

Cukup lama aku menatap gumpalan awan, hingga tak terasa aku terus menyedot air dalam gelas yang sebenarnya sudah hilang isinya.

"Jika suatu saat akan baik-baik saja, aku tidak akan menyesal atas keputusanku. Satu yang selalu ku ingat pada hari ini. Aku dengannya adalah orang baik, teruslah merasa baik apapun sekarang dan separah keadaannya"

Kata-kata itu seketika terucap tanpa disengaja. Seketika menepis perkataan orang lain yang berspekulasi negatif terhadap apa yang aku perbuat. Aku yang selalu ingin menjadi diriku sendiri, kini liar berimajinasi dan mudah melangkahkan kaki kemanapun aku pergi.

Mampu mengalahkan seribu keberanian dengan perkataan yang bisa dibilang telah membunuh perasaan.

...

Aku tidak percaya atas hari ini, juga terhadap awan-awan diatas sana. Mereka seolah diam dan tidak peduli yang tengah aku rasakan.

Aku alihkan tatapan ini kearah luar jendela. Ribuan kepala berhamburan ditengah padatnya lalu lintas selepas jam kuliah.

Jika aku pikir, mereka juga tidak peduli apa yang aku rasakan.

Aku mencoba untuk membuka lembar-lembar foto yang masih kujaga keasliannya dalam saku. Semua terlihat indah. Terlebih melihat raut wajah yang menggambarkan suasana saat itu yang masih baik-baik saja. Foto ini ingin kubingkai satu persatu, atau mungkin akan kugulung dan kumasukan dalam lampu bohlam yang sudah tidak berfungsi.

Mungkin itu hal baik yang harus kulakukan sekarang.

...

Saat seketika aku teringat di Jakarta, yang aku rasakan adalah aku tengah berada ditempat ternyaman. Menurutku, ketika saat berada disampingnya merupakan hal yang nyaman walaupun harus menyurusi ibukota yang padat dengan transportasi konvensional yang jauh dari kata nyaman.

Selepas turun dari bus kota, aku kembali menyusuri jalan setapak. Saat itu aku merasakan kesenangan ketika sampai di suatu tempat. Walaupun ia tak tahu rasa senang itu berasal dari dirinya, semata-mata agar ia senang dengan apa yang memang aku rencanakan sebelumnya.

Aku mencoba mengambil beberapa gambar dengannya, lalu kuabadikan, kusimpan dalam saku baik-baik.

...

Dan, sekarang aku sedang melihat hari ini. Semua seolah berbeda jika aku bandingkan dengan hari sebelumnya. Terlalu naif jika aku harus menyembunyikan semuanya. Terlalu pahit apabila aku terus memendamnya.

Jika kau bayangkan antartika yang sedang dingin-dinginnya, hatiku seperti Indonesia yang sedang kemarau panjang yang tak sudah-sudah.

Aku mencoba mengingat-ingat tentang apa yang terjadi satu jam sebelumnya. Dua jam sebelumnya. Tidak ada lagi yang harus disesalkan. Lalu mengapa dari dalam hati selalu timbul pertanyaan,

"Mengapa harus aku ingat kembali?"

Terkadang manusia itu aneh dengan keputusannya sendiri. Walau pada akhirnya, kita sama-sama memaklumi hal itu yang kini sudah menjelma menjadi sejarah.

Sebentar. Lantas, bagaimana dengan dua satu tahun sebelumnya? Sebelum ini semua terjadi? Sebelum rasa itu pernah hadir diantara kita? Dan jauh sebelum aku mengenalnya sebagai orang baik?

Cepat atau lambat semuanya akan berubah, seperti halnya manusia dan sikapnya yang tidak dapat diprediksi sama sekali.

Begitu pun tentang perasaan. Seketika aku ingin sekali mengukir semuanya secara perlahan-lahan. Jauh mengenal dirinya adalah sebuah keistimewaan.

Namun semuanya harus kuakui, tidak semua orang akan bertahan lama, termasuk diri ini.

...

Jika saja aku berada pada sebuah kalimat, aku ingin sekali menjadi koma. Ia mampu menjaga sebuah nada dengan baik, tanpa harus memberhentikan secara paksa yang kita biasa sebut titik. Namun apa yang aku bilang sebelumnya, cepat atau lambat semua akan berubah, begitu pun tentang diriku seorang yang berusaha kokoh meski diterpa badai sekalipun.

Namun suatu saat, aku pasti akan harus hancur.

Permintaan maaf yang ku-ulang-ulang tidak dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap dirinya. Namun tak apa. Semua memang butuh tahapan, butuh percobaan. Manusia saja butuh menerbangkan roket berkali-kali baru bisa sampai menembus angkasa bukan?

Kurang lebih kini aku lebih suka termenung pada kesendirian.

Entah semua seolah angin lalu yang berhembus secara cepat. Dirinya tidak lagi hadir meskipun sosoknya masih berkeliaran di linimasa pada suatu saat. Kurang lebih, aku memang suka menyendiri, menikmati buku yang kubeli hasil jerih payah diriku sendiri, menyeruput kopi yang kini rasanya tidak seenak kemarin,

dan hal-hal yang aku suka lainnya.

...

Jika aku pernah mengenal banyak manusia dengan kepercayaan tinggi yang dimilikinya terhadap orang lain, dirinya layak menduduki posisi paling atas. Dan semua hal yang pernah kukagumi akan menjadi sisa-sisa kenangan yang tak akan pernah hilang.

Namun, tak ada yang pernah aku sesali sampai hari ini.

Beberapa bulan setelah mengenalnya banyak yang aku pelajari. Tentang bagaimana menjadi seorang penyabar, bagaimana belajar percaya terhadap orang lain, dan bagaimana aku bisa mengenalnya begitu lama.

Seolah semuanya juga memang harus berubah. Tidak pernah ada kata menyesal setelah mengenal dirinya.

Walau kini cerita kita harus aku sudahi, aku ingin menamatkan buku yang sudah dua tahun aku baca sendiri.

Merawat Ingatan, 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang