chapter 6

32 4 0
                                    

Pulang sekolah. Indira dan Tata berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. "Ta...," gumam Indira ketika dirinya dan Rista sudah di depan pintu gerbang sambil menunggu angkot. "Apa?" tanya Tata singkat. Dipandangnya Indira yang terlihat gundah. "Kok gue selalu ngerasa Rival itu nggak tertarik sama gue, ya?". "Ihh, Indira!" gerutu Tata. "Ada nggak sih topik yang lebih bermutu selain itu? Kayaknya hari ini yang gue denger cuma Rival, Rival, Rival aja yang keluar dari mulut lo!".

Indira cemberut. "Lo marah ya, ta?" tanyanya sendu. "Lo udah bosen dengerin curhat gue? Lo nggak suka lagi kalo gue minta pendapat tentang Rival? Lo udah nggak mau lagi ngasih nasehat-nasehat yang selalu gue dengerin dan nggak gue biarin sia-sia? Lo jahat. Lo udah nggak mau lagi dengerin cerita gue. Tata menyibak poni lebatnya. "Enggak," jawabnya pelan. "Gue nggak marah. Gue nggak bosen. Gue cuma bingung. Gue nggak ngerti kenapa lo nggak capek-capeknya ngebicarain Rival."
"Lo masih mau denger curhat gue nggak?" tanya Indira dengan mata penuh harap. Tata mengangguk.

"Tata!" Kiano berlari ke tempat Tata dan Indira. "Ta, lo ternyata disini. Makasih ya nomornya. Sebenernya gue minta nomor lo karena gue disuruh Rival. Ya kesimpulannya, Rival yang butuh. Gue cuma perantara aja." Tata kaget. Tak terkecuali Indira. "Rival yang nyuruh?" ulang Tata. "Iya," jawab Kiano sambil mengangguk. "Dia yang kepengen nomor lo. Tau tuh anak, aneh banget. Mau minta nomor aja mesti lewat gue."

Panas hati Indira. "Ya udah deh. Gue cuma mau ngasih tahu itu doang. Duluan ya," pamit Kiano. Tata mengangguk. Tidak ada keberanian yang muncul dari dirinya untuk memandang Indira. Indira pasti cemburu. Lagi!!! Baru juga beberapa langkah Kiano berjalan, cowok itu berhenti. "Oh iya." Dia memukul dahinya, lalu mendekati Tata. "Ta, ada salam dari Rival buat lo."

Tata menghela nafas. "Oh, makasih," jawab Tata. Yang ada dalam pikirinnya cuma entah seperti apa raut muka Indira sekarang.
"Salam balik nggak?"
"Eng...nggak usah deh," ujar Tata karena merasa tidak enak pada Indira di sebelah kanannya. Kiano mengangkat alis, lalu mulai menyeberang jalan.

Tata terpaku. Belum ditatapnya juga sosok Indira di sisinya. Dia bingung. Perasaan takut, nggak enak, serbasalah, campur jadi satu. Akhirnya dia hanya memandang lurus ke depan. Tiba-tiba terdengar isakan pedih dari sebelah kanannya. Dengan perlahan, Tata akhirnya menatap sahabatnya. Ya, mata Indira sudah merah, sedikit air mata menetes di pipinya. Tata membelai lembut rambut Indira. "Ra, kok nangis?" tanya Tata seperti tidak mengerti apa yang barusan terjadi. "Ehm, Ra, lanjutin topik kita yang tadi. Lo mau curhat apa ke gue?"
"Nggak jadi," jawab Indira tersendat-sendat sambil memandang Tata dengan mata banjir. "Lagian, gue udah nggak perlu curhat lagi. Soalnya semua udah jelas. Dari istirahat sampe sekarang, semua bener-bener terlihat jelas. Sebenernya udah gue duga. Rival emang tertariknya sama lo." Tata menelan ludah. "Tertarik gimana?". "Udah deh, lo nggak usah bego," protes Indira. "Yang disukai Rival tuh lo. Yang dikejar Rival lo. Rival selalu berusaha nyari informasi tentang lo. Waktu istirahat dia nanyain kelas lo, trus dia minta nomor. Nomor apa?"
"Hp."

"Tuh, kan." Nafas Indira mulai memburu. "Kapan Kiano minta nomor lo?". "Waktu gue izin ke TU pas Fisika buat bayar SPP. Di TU gue ketemu Kiano. Ya udah, dia minta nomor." "Rival minta nomor lo secara nggak langsung, Ta," ujar Indira sedih. "Ra, gue minta maaf atas semua kejadian ini. Semua bikin lo sakit hati. Tapi Ra, gue kan nggak tahu kalo ternyata nomor itu buat di kasih ke Rival.". " Iya, gue tahu."

"Ra, gue nggak yakin Rival itu nyari-nyari informasi tentang gue." "Nggak yakin? Ta, mungkin lo nggak ngerasa karena lo yang jadi target. Tapi gue, Ta, gue sebagai orang lain yang dekat sama lo, yang bukan target, ngerasa banget hal itu. Apalagi Rival nitip salam buat lo. Ah, lo emang beruntung." Indira menghapus air matanya. "Tapi lo nggak dendam sama gue kan Ra?" tanya Tata tegang. "Dendam sih enggak, tapi sedikit ngiri ada," jawab Indira jujur. Tata tersentak. "Aduh Ra, sori banget ya, gue bener-bener ngerasa bersalah lho, Ra," Tata merangkul pundak indira.
"Ah, nggak papa kok. Bener." Tata tersenyum sambil menarik nafas lega.

"Eh, lagi pada nunggu apaan?" tiba-tiba Rival muncul di samping Indira.

BackStreet ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang