"Aku yang harusnya mengucapkan itu semua, terimakasih nona kau sudah percaya padaku sejauh ini"
.
.Tubuh pemuda itu tenggelam di balik pintu bersamaan suara yang mengudara, ada rasa sesal pada diri Milaya kenapa ia bisa begitu kekanakan mendalami situasi yang bahkan itu tak bisa disebut sebuah masalah.
Maniknya menatapi makanan yang telah ditenggerkan di atas nakas. sebenarnya pria itu begitu hangat dan perhatian kepadanya, hanya saja Milaya yang masih enggan membuka waras untuk menolak jika pria itu bukanlah seorang pria asing yang bisa kapanpun akan mencelakainya. Tapi sungguh, kenapa rasanya sebaliknya, semakin lama Milaya membunuh waktu bersama pria itu, semakin benih-benih yang tak tahu diri itu mulai tumbuh tanpa permisi membentuk segumul rasa, yang entah wanita itu saja tak tahu itu apa.
Milaya berjingkat keluar dari kamar, mendapati pria itu duduk diperapian rumah tua itu, rumah yang tak terlalu besar, dan hanya mempunyai satu kamar, yang tentu saja menjadi kamar sementara Milaya, sedang pria itu menghabiskan malam dalam keempukan sofa panjang yang terdapat di dekat perapian tersebut. Manik keduanya bertemu, sedang bibir Milaya hanya mengumbar senyum canggung.
"Maafkan aku jika terlalu menyebalkan"
Suara wanita itu mengudara, dibarengi gerakan duduk dipinggiran kursi yang pria itu rebahi.
"Tidak apa-apa, aku juga kadang sama sepertimu"
Park Jimin merotasikan tubuhnya, duduk didekat wanita itu juga, saling menatap dalam diam kemudian hening kembali.
"Lain kali aku akan belajar memasak telur dengan benar"
Park Jimin mengutas senyum yang tak kalah indah dari keanggunan malam, maniknya menyipit penuh dengan ketulusan, saat seperti ini Milaya benar-benar menolak jika ia pernah percaya saat pria didepannya ini mengaku seorang pembunuh. Masa bodoh! Milaya hanya akan melakukan sesuatu apapun tanpa sekat kepercayaan lagi. Atau mungkin dia sudah benar-benar tenggelam dalam telaga pesona yang Park Jimin punyai.
"Kita akan belajar memasak bersama nona"
"Tuan Park, bisa tidak kau memanggil namaku saja, Milaya"
"Dan kau, bisa juga tidak, jangan memanggilku Tuan Park? panggil saja Jimin"
Dua anak manusia itu kemudian saling menertawai apa yang baru saja terjadi, dan menyadari betapa kekanakan dan bodohnya mereka, padahal masih banyak kata yang bisa diucapkan untuk membangun keakraban yang mau tak mau harus mereka jalani sedini mungkin.
Seperti semesta merestui jika memang mereka ditakdirkan untuk terkait satu sama lain. Hingga akhirnya Mereka saling tenggelam dan membutuhkan, sejak kapan? Entahlah. perasaan itu dengan tidak tahu diri bergelanyut dalam cokolon relung yang menghantar kejut rasa bagi diri si penerima. Siapa lagi, sudah tentu Park Jimin dan Milaya.
.
."Milaya makanan sudah matang cepat bangun"
"Milaya jangan lupa matikan keran, kau selalu melupakannya"
"Milaya jangan lupa pungut rambutmu di lubang pembuangan kamar mandi, rambutmu itu menyumbat"
Milaya, Milaya, Milaya, Milaya!
Sejak kapan rungu wanita itu akrab dengan suara sendu penuh ketus dari bibir Park Jimin yang kini seolah telah candu memanggili namanya.
Sejak kapan pria Park pun menjadi terbiasa menuturkan hal-hal yang dulu tabu untuk seorang Milaya, sejak kapan?
Tolong katakan Milaya telah gila karena mendadak terikat dalam hubungan aneh yang penuh dengan obsesi dan kecanggungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
METANOIA🌺
RomanceMilaya hanyalah wanita yang mabuk dengan keduniawiannya, hingga seorang pria Park Jimin memperkenalkan dunianya yang penuh teka-teki. Haruskah Milaya ikut menjelajahi dunia yang Park Jimin tawarkan?