2 - Pertanggung Jawaban

4.6K 330 42
                                    

Kekesalan Gulf semakin memuncak, awan mendung menggulung mengatarkannya ke asrama Mew dengan bantuan seorang teman. Satu persatu anak tangga Gulf naiki dengan ringan, matanya seakan mengeluarkan kobaran api amarah, giginya gemeretak dan tangan ia kepalkan erat-erat. Untuk saat ini hanya satu tujuannya, sebuah pertanggung jawaban. Disini dia sebagai korban bukan.

"Kamarnya nomor 49"

Kakinya kini tiba di lantai 4 asrama itu, satu persatu pintu ia lewati mencari keberadaan kamar yang ia cari, sampai akhirnya dia tiba di depan sebuah pintu dengan nomor 49 yang menghiasinya.

Tanpa aba-aba dia mengetuk pintu itu dengan kasarnya. Beberapa saat tidak ada jawaban, ketukannya kini semakin intens dan keras.

"Sialan!" Dengusnya diakhiri sebuah gebrakan dengan tangannya.

Merasa apa yang ia inginkan tidak terpenuhi, Gulf kemudian pergi meninggalkan kamar itu dengan kesal. Beberapa kali dia melihat pintu itu memastikan kalau-kalau pintu itu akan terbuka. Namun nihil.

Didalam sana, Mew terduduk diatas tempat tidurnya, dia menundukan kepala malu. Bahkan hari ini dia memilih membolos dari kelasnya karena tidak ingin bertemu dengan siapapun.

Kata-kata Perkosa lagi-lagi memenuhi kepalanya, sebuah kata yang paling ia benci seumur hidupnya harus ia terima karena kecerobohannya. Tapi dia merasa kalau dialah korbannya.

Dering handphone disampingnya sedari tadi berbunyi tanpa henti, disana nama Oreo tertulis, itu pacarnya.

Biasanya dia akan bersemangat mengangkat panggilan itu, bahkan kalau pemuda yang sudah menemaninya selama satu tahun itu tidak kunjung memberinya kabar, dia tidak segan datang ke kamar asramanya sekedar memastikan kabar pacarnya itu.

Tapi kali ini rasanya sangat enggan untuk mengangkat telpon itu, dia malu pada Oreo, dia sudah menghianati pemuda itu, bahkan sedari tadi dia mempertimbangkan apakah dia sebaiknya putus saja dengan pemuda itu atau tidak. Pilihan ini sangat sulit untuknya.

***

Gulf duduk dikursinya dengan mata lurus menatap sebuah handphone. Bukan hanya tau nomor kamar Mew, dia juga kini tau nomor telpon pemuda itu. Namun saat dia mengingat wajah Mew, bayangan pemuda itu bangun di atas tempat tidurnya dengan telanjang membuatnya kesal setengah mati. Dia bukan gay, dia pria normal.

Pintu terbuka, Mean masuk dengan satu bungkus makanan yang sengaja ia beli di bawah untuk teman sekamarnya itu, dia hanya ingin berbaikan dengan pemuda yang hampir tiga semester ini bersamanya.

Mean melepas sepatunya "Lo masih marah Gulf?"

Gulf terdiam, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, bahkan perhatian enggan ia berikan pada Mean.

Mean mendekati Gulf pelan kemudian menaruh plastik transparan dengan dua kotak makanan tepat di depan temannya itu.

"Lo belum makan kan, ini kesukaan lo" ucapnya pelan kemudian berlalu menuju kamar mandi

Gulf masih dengan mode silent nya, matanya masih lurus menaik turunkan layar handphone.

Mean membuka pintu kamar mandi, handuk masih ia gantungan di leher, dengan hanya memakai boxser hitam dia hendak berganti pakaian.

Tapi tiba-tiba saja Gulf datang menghadangnya, matanya menatap dia tajam, kepalan tangan sudah siap ia layangkan untuk kedua kalinya di wajah Mean.

"Gulf, tenang, lo kenapa sih?"

Gulf terdiam.

Mean mendorong tubuh Gulf perlahan, namun pemuda itu tidak bergeming.

"Lama-lama kesabaran gue habis yah, gue ngerasa gak ada salah sama lo, tapi lo tiba-tiba mukul gue terus sikap lo sekarang kayak mau ngebunuh gue, kenapa!?"

Can you see my sign [Completed] SUDAH TERBITT!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang