16 - Saling bercerita tentang perasaan

2.3K 227 10
                                    

Gulf mengetuk pintu rumahnya. Jam sudah menunjukan pukul 4 pagi. Biasanya ibunya akan pergi ke pasar sekedar membeli bahan makanan untuk mereka makan.

Tapi beberapa kali Gulf mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu tidak kunjung ada yang membukanya. Sekedar untuk meluruskan kakinya yang terasa pegal karena hampir 2 jam di dalam bus dia pun duduk di kursi yang terbuat dari rotan diteras rumahnya.

Gulf bukanlah anak orang kaya seperti Mew yang mempunyai mobil pribadi. Tapi keluarganya punya sebuah usaha kecil di salah satu pantai yang lumayan terkenal disana. Sebab itu lah dia bisa kuliah di kota dan hidup di asrama.

Matanya mulai terpejam. Tubuhnya pun seakan sudah terlalu lelah dan ikut larut dalam ketenangan.

"P'Gulf?"

Suara seseorang membuyarkan ketenangan yang baru sepersekian detik Gulf dapatkan. Dilihatnya pemilik suara itu adalah Pluem, adiknya yang baru datang dengan sebuah tas ransel besar di punggungnya.

"Pluem? Dari mana kamu?"

Gulf bangkit dan kini dia sudah berdiri sejajar dengan adiknya itu.

Pluem terdiam. Gerak-geriknya menunjukan kalau dia sedang mencari alasan yang tepat untuk kakaknya itu.

"Darimana? Dan kenapa kamu bawa tas ransel sebesar itu?"

"Pertama, maaf untuk yang kemarin P'Gulf. Aku hanya khawatir"

"Kakak paham. Tapi ada apa sekarang, apa yang kakak gak tau?"

"Anu... sebenernya dari pertama kali aku ke kota, ke asrama kakak, aku kabur dari rumah" jawab Pluem sambil tertunduk.

Tubuh berisinya kini sedikit bungkuk. Rambut poninya jatuh karena tundukan kepala yang ia lakukan.

"Kabur? Kenapa?"

Suara seseorang dari dalam rumah mengejutkan mereka berdua. "Siapa itu?"

Pluem dengan sigap menarik tangan kakaknya dan membawanya menjauh dari rumah.

"Pluem ada apa, hey ada apa?"

Setibanya disebuah tanah lapang yang luas Pluem melepaskan cengkraman tangannya. Lagi-lagi Pluem terdiam seribu bahasa.

"Kakak sebenarnya sangat tidak suka dengan sikap kamu saat dikota. Kamu boleh kasar, tapi itu sangat kasar. Apalagi tata bahasa kamu sangat tidak sopan" Gulf membuka obrolan diantara mereka, menghilangkan keheningan yang ada.

"Sebenarnya. Saat pertama kali aku lihat P'Gulf memeluk pria di asrama, aku sedikit terkejut bercampur senang"

"Hah? Tapi saat itu kamu malah marah dan menghina teman kakak, dan setelah itu kamu malah bawa Mai kesana"

Pluem kini menangkat kepalanya, mencoba melihat kearah Gulf.

"Sudah ku bilang, saat itu aku terkejut. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat itu" balas Pluem

"Lalu sekarang apalagi. Masalah apa yang kamu perbuat sampai harus kabur dari rumah?"

"Aku dan Chimon. Pacaran" ucapnya terbata

"HAH?!" Gulf terkejut bukan main. Mulutnya terbuka lebar, manik matanya menatap adiknya lurus.

"Ayah tau semuanya, aku malu kak. Tadinya aku ingin beritahu ini semua, tapi ternyata P'Gulf pun sama denganku"

Gulf memeluk tubuh Pluem dengan erat. Dia menjatuhkan tas ransel yang sedari tadi ia gendong. Kini dia tau alasan kenapa adiknya ini kemarin marah terhadapnya. Ternyata nasibnya jauh lebih beruntung dari pada adiknya itu.

"Apa yang salah dengan mencintai kak. Bukankah mencintai itu tidak memandang satu hal pun, kecuali perasaan cinta itu sendiri"

Gulf mengelus kepala adiknya itu pelan "Kamu benar. Tapi terkadang ada saja orang yang tidak mengerti keadaan kita"

Pluem melepaskan pelukan Gulf. "Lalu P'Gulf pulang kenapa, apa P'Gulf akan memberitahukan semuanya pada ayah?"

Gulf menggeleng. "Kisah kakak tidak seindah dan seberuntung kamu dan Chimon. Kisah kakak hanya sepihak, tidak ada balasan" ucapnya

"Jadi pemuda itu hanya mempermainkan kakak aja?! Gak bisa dibiarin, seenaknya aja mainin perasaan orang!"

"Bukan gitu. Dan jangan pernah urusi masalah ini, paham?"

Pluem menangguk pelan.

***

Hari mulai pagi. Setelah merenung sejenak akhirnya mereka berdua pun kembali kerumah. Disana mereka melihat Ayah sudah duduk diteras depan seakan menunggu kedatangan sesorang.

Gulf melangkah pertama diikuti Pluem yang mengekor di belakang. Perasaan takut kini tidak hanya dirasakan oleh Pluem, tapi juga Gulf.

Dia hanya takut kalau sampai ayahnya itu tau perasaannya pada Mew, apakah kemarahan yang Pluem dapat akan ia terima juga.

Beberapa senti lagi mereka sampai di teras rumah. Sang Ayah yang melihat kedua anaknya datang bersamaan segera menghampiri mereka. Tanpa aba-aba dia segera memeluk tubuh Pluem dengan erat.

"Kemana saja kamu. Ayah khawatir. Ayah pikir sudah kehilangan satu anak Ayah"

Pluem menumpahkan air matanya dipelukan sang Ayah. Kesedihan serta ketakutan kini seakan meluap begitu saja. Benteng kasih sayang keluarga seakan menghancurkannya, menghilangkannya dari hati keduanya.

Ibu yang melihat itu semua hanya bisa terisak di ambang pintu. Melihat keluarganya berkumpul kembali adalah sebuah anugerah yang sangat indah. Tidak ternilai harganya.

***

Mew duduk di tempat tidurnya. Beberapa kali dia melihat layar handphonenya berharap Gulf menghubunginya, sekedar memberikan kabar kalau dia baik-baik saja. Tapi nihil, tidak ada pesan atau apapun itu yang membuat Mew tenang.

Ting

Sebuah pesan masuk ke handphonenya. Dengan sigap dia segera menyambar benda kecil itu dan membaca pesan yang ada.

"Mew. Maafin gue yah. Sekarang lo udah tau perasaan gue kayak apa. Dan bukankah setiap hujan berhak atas pelangi yang ada. Bahkan nyamuk saja berhak untuk menghisap darah manusia demi kelangsungan hidupnya. Cih, sebuah perumpamaan yang bodoh memang. Tapi setelah ini, gue janji bakal temuin lo lagi, gue tarik kata-kata gue kemarin. Gue harap kita bisa berteman kayak dulu lagi"

Tanpa aba-aba Mew pun menelpon Gulf sekedar ingin mendengar suara pemuda itu. Dan lagi ia sangat ingin mengucapkan sebuah kalimat yang sudah ia pendam sejak tadi malam.

Bunyi nada sambung saja bahkan membuat jantung Mew berdegup kencang. Beberapa saat kemudian nada sambung itu berganti dengan suara pemuda yang sangat ia dengar.

"Halo"

"Halo Gulf?"

"Mew"

"Syukurlah lo baik-baik aja. Lo dimana?"

"Gue di rumah. Ada urusan yang harus gue selesain disini"

"Please jangan jadiin itu alasan untuk menghindar dari gue. Gue mau ngomong satu hal sama lo"

"Gak ada yang perlu gue hindarin dari lo, semua udah jelas bukan. Semuanya udah berakhir untuk gue"

"Nggak. Justru ini awal untuk elo, dan kita"

"Mew. Apa maksudnya?"

"Tanda yang lo kasih ke gue, udah gue terima. Dan pelangi udah muncul, semua terlihat indah Gulf"

"Mew?"

"Gue tunggu di tempat pertemuan kita pertama kali, ada satu hal yang perlu kita bicarakan"

Setelah mengatakan itu Mew menutup telponnya. Guratan senyum terlihat di wajahnya. Kini dia bisa merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Bahkan sekarang ia sudah tidak sabar menunggu waktu pertemuan mereka.

****

TBC

Can you see my sign [Completed] SUDAH TERBITT!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang