#2 | NNN

113 12 5
                                    

Judul: NNN
Penulis: Fatma Aisiyah MinYeol_Wu


“Hai,” sapa seorang lelaki sebaya.
Aku, dia, dan si rambut cepak berkaca mata. Saling lirik seolah kami adalah individu yang saling suka, lalu terjebak dalam kisah kasih asmara cinta segitiga. Kebetulan kami juga canggung. Berlidah kelu tanpa maksud berucap sesuatu. Kami hanya diam dan bernafas semenjak lima belas menit yang lalu, kecuali si pengucap sapaan ‘hai' itu yang terlihat memasuki kemajuan.
Kalau dipikir, mungkin sekarang sudah memasuki perjalanan menuju pukul dua siang. Si rambut cepak mungkin sudah mulai bosan dan melirik sejenak ponselnya yang dibiarkan menyala dengan notifikasi sebanyak itu. Terus bermunculan, lalu dia akan mulai membaca kilat pesan-pesannya. Dia menjadi bahan tontonan kami yang makin tidak jelas ini. Aku perempuan pemalu, jadi jangan minta aku untuk menjadi pemecah suasana.

“Oke, jadi guys,” ucap penyapa tadi dengan sok keren. “Karena ini tugas kelompok pertama kita, gimana kalau kita kenalan dulu?” usulnya.
Aku dan si rambut cepak memandangnya dengan aneh. Sampai-sampai dia kikuk. Tapi aku berakhir dengan sebuah anggukan, dan ucapan lirih dari si rambut cepak. Dia mengiyakan, usai membetulkan kaca matanya yang terasa merosot. Gestur familiar oleh para pemakai kaca mata.
“Oke, kenalin, nama gue Ginanjar.” Dia, si Ginanjar itu mengawali—sebagai sosok bertanggung jawab yang sudah mengusulkan atas perkenalan.

“Gue Andra,” jawab si rambut cepak.

“Aku Amanda,” jawabku kalem.

“Wah ... di sini nama gue yang paling kayak bapak-bapak, ya? Lucu. Eh, tapi Amanda juga serem. Kayak film horor yang pakek boneka itu,” candanya garing. Tapi ada yang aneh dari ucapannya.

“Itu Annabelle,” celetukku membuatnya diam dan berpikir.
Dan lagi, sesuai dugaanku, entah dengan perkenalan atau tidak tetap saja sama. Dugaanku juga, mereka orang pendiam sama sepertiku. Karena nyatanya hanya kami yang tersisa, dan seandainya mengerjakan sendirian pun, dirasa itu cukup memberatkan. Sekali lagi, kami adalah kumpulan orang-orang pendiam yang banyak pikir soal bicara dan mencari teman. Tapi dari kami bertiga, sepertinya Ginanjar yang paling mumpuni. Mungkin saat ini dia sedang menganggap dirinya adalah seorang ketua.

“Jadi ... kita disuruh wawancara soal orang yang depresi?” tanyaku sekedar basa-basi.

“Iya, tapi kita bukan dulur yang dekat sama orang depresi itu. Gimana caranya buat bikin mereka ngomong soal permasalahan, yang sampai-sampai bisa bikin depresi itu?” tanggap Ginanjar. “Mau mulai dari mana kalau gitu?” tanyanya.
“Gue manut aja. Nggak begitu paham soalnya,” celetuk Andra.

Apa dia mau menipu kami? Jelas-jelas dia masuk psikolog dan sudah jalan beberapa minggu. Tapi malah mengatakan tak paham dengan hal-hal semacam ini. Tipikal anak pemalas yang putus asa. Tapi sebagai seorang pendiam, aku dan Ginanjar hanya melirik sekilas tanpa komentar. Berusaha berpikir dengan sedikit kesal pada Andra. Tapi anak berambut cepak itu sepertinya peka. Jadi dia kembali membuka suara.

“Gimana kalau cari referensi di google aja dulu?” usulnya dan kami langsung mengiyakan. Metode dari jaman SMP, atau semenjak kami mengenal kepintaran mbah google.
Kami membuka ponsel masing-masing. Percayalah, dengan gerakan kikuk itu rasanya sangat mengganggu. Aku masih menunggu sinyal. Jadi yang kupandang adalah wallpaper foto keluarga. Ginanjar tampak teliti kalau dilihat dari alis matanya yang selalu terlihat serius itu. Dan si rambut cepak, mungkin dia pikun. Kaca matanya memantulkan macam-macam warna mencolok yang bergerak random. Sedang membuka apa dia?
Kejadian selanjutnya dari Andra adalah, saat wajahnya yang terpapar sinar ponsel itu berubah menjadi hijau. Lalu dia cepat-cepat menempelkan benda persegi panjang itu ke telinganya. Berbicara dengan maksimal tiga kosakata: Apa, iya, oke. Dan berakhir pada kurang dari satu menit. Andra menjadi gusar.

EVENT GCAW Official Ke-2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang