Part 6. Pengaruh Buku Seksualitas

933 7 0
                                    

Selama kuliah, pikiranku tak pernah terpengaruh oleh ceramahnya dosen di depan kelas, tetapi hanya dipengaruhi oleh buku-buku yang aku gemari.

Berikan buku-buku yang mengguncang dunia kepadaku, maka aku akan terpengaruh olehnya.

Semua buku yang mempengaruhiku akan membuat siklus hidupku setiap harinya menjadi, "refleksi, reaksi, dan aksi."

Benarlah apa yang dikatakan Rosa, bahwa aku ini sosok pemuda yang terlalu serius, dimanapun tiada hari tanpa membaca dan diskusi.

Begitulah, aku!

Saat khatam membaca buku Das Capitalnya Karl Marx, maka seketika aku menjadi "marxis" dan sering ikut berdemonstrasi membela hak-hak kaum buruh.

Saat selesai membaca buku karya Misbach, Asghar Ali Engineer, Hassan Hanafi, seketika itu pula aku menjadi aktifis santri yang gandrung membela kaum mustad'afin di Jember.

Saat aku tuntas membaca buku-buku feminis, maka aku pun menjadi lelaki genit yang suka membela dan sering berada dibarisan demonya kaum perempuan.

Begitulah hidupku setiap harinya yang mengalir dari refleksi, reaksi dan ke-aksi.

Refleksi aku lakukan dari membaca buku, reaksi aku dapatkan dari ajang diskusi, lalu berikutnya aku wujudkan menjadi aksi nyata di lapangan, entah melalui demontrasi maupun melalui tulisan di media massa.

Akibatnya, aku menjadi lelaki yang kering humor dan sangat jadul dengan dunia asmara dua insan.

Demikianlah, setiap terpengaruh oleh buku, seketika dunia ingin aku ubah. Termasuk pula yang sekarang, aku begitu terpengaruh oleh buku yang dibelikan oleh Rosa tersebut.

Akibatnya, kini pikiranku menari-nari, berputar-putar untuk segera melaksanakan aksi nyata, "seksualitas dalam spritualitas" bersama Rosa.

Harus aku akui, sebuah kondom yang aku gunakan pada Rosa waktu itu, sebatas aktifitas menubuh semata. Sekedar kegiatan badaniyah. Mirip orang pipis semata. Saat itu, aku tak merasakan sama sekali nilai keindahannya yang tak terbayangkan. Pantas saja aku tak tertarik lagi melakukannya, sebab hanya berakibat penyesalan diri belaka.

Sementara buku yang dibelikan Rosa ini telah menyirami rasa dahaga pengetahuanku tentang "spritualitas dalam seks dan seksualitas dalam spritual".

Terdorong oleh perasaan yang meletup-letup akibat buku itu, aku pun menyetujui menikah siri dengan Rosa.

"Iya sudah Ros, kita menikah siri!" jawabku menyanggupi ajakan Rosa menikah siri.

"Okey ...Aku kondisikan dulu, ya Gio ku sayang! Aku konsultasikan dulu dengan ustad itu." jawab Rosa langsung menutup HPnya.

************************************
Selain terdorong oleh buku itu, sejak hatiku di sniper oleh ungkapan cinta dan air matanya Rosa telah membuat "perasaan maskulinku" jadi terlemahkan.

Apalagi, sejak aku memahami posisi perempuan yang seringkali dijadikan korban "struktural patriarkis", maka aku tak pernah tega membiarkan perempuan menangis, seperti tangis cintanya Rosa kepadaku.

Saat aku dikecup kening, diperhatikan, dirindukan, dan disayangi oleh Rosa, bagaimanapun itu, membuat hatiku meleleh.

Ya ...kini aku tersadar, saat ini hatiku telah lemah dan leleh pada Rosa.

Dan Rosa telah menyadarkanku pula, bahwa kini aku telah memiliki dua kecenderungan mencintai sosok perempuan. Sosok pertama, perempuan cantik, mandiri, teguh pendirian, dan sulit ditundukkan. Sosok kedua, perempuan cantik lemah, manja, dan tak perlu ditundukkan lagi seperti Rosa ini.

Entahlah ...

Mungkin karena selama ini aku tak pernah bisa memiliki perempuan yang ku idamkan itu, dan ditambah pengaruh buku yang dibelikan Rosa, sehingga tiba tiba sekarang aku ingin memiliki isteri cantik berjilbab yang anggun, lembut, manja dan pemalu.

******************
Seminggu kemudian aku benar-benar menikah siri dengan Rosa di waktu liburan panjang mahasiswa.

Usai dari acara pernikahan siri itu, Rosa pulang ke kampung halamannya.

"Mas, Gio sayang!" kata mesra Rosa melalui HPnya.

"Iya, Ros!" jawabku mulai gugup mendengar suara mesranya.

"Panggil, aku sayang dong, Mas!"

"Iya ... sayang!"

"Jadi kita ketemuannya, Mas!"

"Iya, jadi."

"Di Villa, itu kan?"

"Iya ..."

"Jangan lupa, kondomnya dibawa, loh!"

******************************

Menjelang magrib aku dan Rosa sampai ke VIlla itu. Kami pun menjalankan seksualitas dalam spritualitas.

Disana, aku dan Rosa menunaikan ritualitas tanpa henti. Disana, aku dan Rosa menyucikan seksualitas dengan sakralitas. Kami sebenarnya sudah tak tahan tenggelam dalam hawa nafsu, namun, kami terus bertekad menjinakkan nafsu liar itu dengan rasa welas asih. Kami tak menghiraukan nafsu angkara terus merongrong jiwa. Kami terus bertekad menyucikan seksualitas dengan spritualitas, lalu yang suci dengan yang kotor itu bergulat sampai pagi.

Sebungkus Kondom UntukkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang