Part 16. Plak!

313 9 0
                                    

Kini pun Ross telah berganti posisi menjadi penentu kunci harapanku.

Ia menghela nafas panjang setelah mendengar kesanggupanku memenuhi syaratnya.

"Kamu ... harus tampar wajahnya Fitria ...!" kata Rosa dengan mata mendelik. Sepertinya ia begitu marah dan sakit hati padanya.

"Loh kok menampar Fitria, ini kan gak ada hubungannya dengan kita, Ros?" timpalku.

"Biar dia juga menangis ... dan merasakan betapa sakitnya hatiku!" jelas Rosa dengan gestur yang bersungguh-sungguh atas ucapannya.

"Iya ..iya nanti aku tampar dia!" tanggapku beralibi.

Syarat yang diajukan Rosa, jelas sangat gila. Hanya perempuan berhati pendendam yang bisa punya ide se-gila itu.

Namun Rosa lekas menimpalinya. "Nanti ... katamu? Sekarang ... bawa dia ke sini! Aku ingin tahu bagaimana kamu menamparnya di hadapanku ...!" seru Rosa dengan suara meninggi.

"Syarat apa begitu, itu! Gak manusiawi banget. Bisa di penjara aku. Menampar perempuan tak bersalah, kena pasal KDRT, Ros ...!" sahutku dengan nada tak kalah tingginya.

"Katamu tadi mau melakukan apapun... ! Hayoo...! Tadi kamu bilang, apa ...?" ujarnya dengan berteriak, teriakannya yang melengking itu pastilah terdengar sampai ke rumah tetangganya.

"Ya tapi jangan syarat, begitu, donk! Sesuaikan dengan kadar kesalahanku, lah," pintaku menawar supaya isi syaratnya diubah.

Rosa kulihat terdiam dengan tatapan mata yang penuh amarah. Keningnya mengkerut. sepertinya ia sedang berfikir keras.

Menghadapinya, aku hanya bisa garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Dalam hatiku merutuki diri yang telah datang memunuhi panggilannya, dan terlebih lagi masih mau menyanggupi syarat maafnya.

Aku orangnya memang tak pernah tega melihat air mata perempuan siapapun yang tumpah ruah di hadapanku. Terlebih tangisnya karena aku. Walaupun aku benar, seringkali aku yang meminta maaf padanya. Apapagi yang menangis sekarang ini adalah Rosa, perempuan yang aku cintai.

Aduh ... kenapa aku dengan sengaja telah membuatnya cemburu pada Fitria, ya? Kalau tahu begini, tentulah aku tak berani melakukannya lagi.

"Ada ... syarat lainnya ... bila kamu tak berani menamparnya!" tegas Rosa dengan bibir bergetar dan pandangan matanya yang dingin.

"Nah, gitu donk! Apa syaratnya, Ros" tanyaku merasa senang karena Rosa telah mengubah isi syaratnya.

"Dua syarat ...!" ucapnya sembari mengacungkan dua jari.

"Iya, apa?"

"Karena kamu gak tega menampar Fitria, maka syarat pertamanya aku yang akan menamparmu_...! Syarat kedua, biar kamu tidak selingkuhan seperti Ayahku ... maka, ATM-mu_... aku yang pegang." jawab Rosa dengan senyum tersungging. Sebuah senyum mirip senyumnya Sang Jenderal Soeharto.

"Iya aku setuju, Ros. Berapa kali tamparannya, Ros?"

"Mana, berikan ATM-mu dulu!" sergah dia sebelun menjawab pertanyaanku.

Lalu aku memberikan 1 ATM kepadanya dengan berat hati.

"Itu yang satunya lagi, keluarkan!" Rosa menunjuk sebuah ATM BCA yang masih terselip di dompetku.

"Jangan kalau ATM yang ini, Ros. Ini ATM-nya lembagaku."

"Gak peduli. Mana, cepat ...! Kalau kamu mau ambil uangnya, biar bareng aku saja." pinta Rosa dengan songong.

Aku pun memberikan ATM BCA itu dengan gelengan kepala.

Kedua syarat itu sungguh sangat berat. Harga diriku sebagai laki-laki yang ditampar perempuan bagaikan terjatuh dari pohon kelapa, kalau tidak patah tulang, bisa menyebabkan kematian harga dirinya laki-laki.

Sebungkus Kondom UntukkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang