Part 17. Rekonsiliasi Di Atas Ranjang

506 9 0
                                    

Aku pun membuka lemarinya. Namun sebungkus kondom yang kucari tak ketemu jua.

"Rosa naruhnya di sebelah mana, sih?"

"Itu loh, yank. Di laci paling bawah." jawabnya menyeru, sembari ia melepaskan celana terdalamnya.

Ups ... akhirnya benda ajaib itu aku temukan juga Loh, ini kok ada dua bungkus? Bukankah dulu, ia hanya memperlihatkan sebungkus?

Ah, sudahlah ... sekarang aku tak ingin bertengkar lagi dengannya. Aku telah letih berebut kuasa dengannya.

"Ros ...! Tolong dibantu donk!" pintaku padanya, mirip anak kecil yang minta ditiupkan balonnya.

"Ih, sayangku ... masa setiap masang kondomnya ... selalu aku. Pasang sendiri kan, bisa?"

"Ya, sudah gak usah pakai!" aku sangat berharap tak memakainya lagi.

"Jangan, jangan ... ! Sini aku yang masang .. !" cegah Rosa dan memintaku menghampirinya. Kupandang ia begitu sabar dan penuh keibuan. Tidak buas lagi seperti tadi.

Aku memberikan sebiji kondom itu padanya. Lalu ia memasangkan dengan begitu mudahnya.

"Sayang ... " ucapnya pelan memanggilku.

"Hemm .."

"Mas, Gio .. '

Aku menoleh padanya.

"Tadi tamparanku terlalu keras. ya? Maaf, ya Mas Gioku ...!"

" ... " aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.

Damai dan indah rasanya jika hidup selalu begini .

Bahagia rasanya jika hidup saling memaafkan dan tanpa kebencian.

"Sayang ...' panggil Rosa lagi dengan suara manja, lalu kepalanya direbahkan ke dadaku.

"Iya ...Ros!" sahutku dengan rasa damai sambil jemariku membelai-belai rambutnya.

"Emm ... cemburuku tandanya cinta ke-Mas Gio!"

"He ..eh"

"Aku sama Fitria lebih cantik siapa, mas?"

"Cantik kamu!"

"Maaf banget, ya. Aku menyesal sekali ...Gak tega banget lihat air matamu tadi ..."

Ucapannya membuat aku terngiang akan tamparan kerasnya, "plaak!". Tanpa sadar tanganku mengusap-ngusap pipi kananku, dan tanpa terasa mataku pun berkaca-kaca kembali.

Begitu pula dengan Rosa. Air matanya tumpah menderai ke dadaku. Sepertinya, ia teringat kembali dengan kejadian yang memilukan tadi.

" Aduuh ... sakit banget tadi ya, sayang? Maaf ... maaaf ... ya ...!"

Seketika ia menengadahkan wajahnya, lalu memelukku dengan rasa penyesalan mendalamnya.

Kemudian ia memandangku disertai senyum bahagianya, dan kelopak matanya masih sembab dengan air mata.

Lalu ia mengecup keningku. Sebuah kecupan yang mengingatkan pada hadiah kejutannya yang dulu pernah diberikannya padaku.

Sejurus kemudian ia menenggelamkan sisa sakit hatinya, penyesalannya, dan kebahagiaannya melalui ciuman bibir yang tak berkesudahan.

Anehnya, air matanya semakin deras mengalir di pipinya

Bagai air matanya seorang ayah yang merindu berbulan-bulan pada putrinya, walau telah bertemu dan bercanda ria, tapi air mata ayah itu tetap mengalir tanpa henti.

Ku lihat Rosa telah menyiapkan pendakiannya ke puncak gunung raung yang terkenal dengan jalan setapaknya yang terjal.

Jemarinya menuntun kerinduan purba adamku menuju kerinduan purba ibu hawanya untuk bersama sama menikmat buah terlarang itu.

Lalu ... seperti sebelum-sebelumnya, ia dengan perlahan nan lembut, memilih posisi berada di atasku yang berjalan mendahuluiku ke puncak Raung itu.

"Mas ...bantu aku ..." ucapnya dengan memejamkan matanya.

Tampak rambut sebahunya sering ia tahan dengan jemarinya agar tak selalu jatuh menutup wajah cantiknya.

Entah kenapa, peraduan ini begitu nikmat tiada taranya. Apakah ini hadiah terindah kami setelah melewati penderitaan demi penderitaan?

Rosa terus berjalan cepat namun dengan perasaan lembut menaiki puncak Raung, tetapi pikiranku masih berjalan sendirian menelusuri keanehan sensasi kenikmatannya.

Kenapa sensasinya begitu luar biasa?

Namuni jalan pikiranku yang seperti itu menjadi sirna, tatkala Rosa memberi kode bahwa ia hampir sampai di puncak Raung.

"Mas ... Mas Gio ..." Rosa memanggilku tanpa alasan yang jelas. Mungkin itu sebuah kode alamiahnya

Kurasakan penderitaan dan kelelahan batin selama berkonflik hebat dengannya tadi, Ikut terhisap tak bersisa ke dalam grafitasi kuat blac hole-nya.

Sungguh ... ketika di atas peraduan ini, penderitaan hidupku terasa begitu nikmat. Senikmat orang yang sengaja berlapar ria, lalu, ketika menemukan hidangan makanan yang lezat, ia hanya mencicipinya sedikit saja.

Anehnya, semakin Rosa memacu dirinya, air matanya tetap menitis, dan bercampur dengan keringatnya yang jatuh ke dadaku.

Rasa kasih sayangku yang teramat dalam, membuatku hanya memposisikan diri sebagai Julius Caesar, demi menghantarkan Sang Ratu Cleopatra sampai di puncak kenikmatannya.

"Mas Gio ... Mas .." ia memanggilku lagi dan berulang-ulang

"Mas ...! Bareng, mas ..!"

"Mas Gio ... !!!"

Ia pun memanggil namaku untuk terakhir kalinya.

Mungkin Rosa sudah sampai di puncak tertinggi Gunung Rauang itu. Melihat senyum kemerdekaannya, sepertinya , ia sudah klimaks.

"Sudah aku, Mas ...! Mas Gio juga, kan?" pungkasnya dengan garis senyum yang lebar di bibirnya.

"Ya ampun ... loh ... loh ... kondomnya gak kamu pakai, ya?"

"Hehe ... Iya aku lepaskan tadi." jawabku menyeringai.

"Terus ... Kamu keluarin di dalam tadi?"

"Iya ..."

"Gimana nanti kalau aku hamil?"

Bersambung ...

Sebungkus Kondom UntukkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang