Part 19: Kembali Ke Jati Diri

590 12 9
                                    

Aku sudah bertekat dua hal penting ini harus diselesaikan dalam waktu dekat. Pertama, menunaikan amanat orang tuaku agar cepat lulus kuliah. Kedua, menuntaskan perjuangan tanah rakyat di desa Mergosari.

Jadi yang tak berkait dengan urusan perjuangan sementara aku abaikan dulu. Termasuk berurusan dengan Rosa.

Aku harus kembali ke- 'khittohku' sebagai pejuangnya petani marginal. Saat ini yang terpatri dalam jiwaku, lebih baik mati berjuang bersama petani daripada terus-terusan menjadi tahanan hidupnya seseorang.

"Kamu kenapa, Guru? Kok sepertinya lagi mikir berat?" tanya Candra menyentak lamunanku di ruang tamu kos-kosan.

"Mikirin perjuangan tanahnya rakyat Mergosari, lah!" selorohku menyembunyikan pikiranku yang sedang berkecamuk.

"Ah yang bener? Mikirin Rosa, apa rakyat, nih?" tanyanya lagi dengan nyinyir.

"Lemah sekali kau ini guru! Masak urusan selangkangan saja kau samakan beratnya dengan urusan perjuangan rakyat!"

Jleb ... Kata-katanya Candra begitu menohok ke-dasar jati diriku. Idealisme hidupku menjadi tertampar dengan kerasnya.

Walau Candra berbicara sekenanya, apa yang dikemukakannya sangatlah benar. Saat ini aku hanyalah lelaki biasa yang lemah dan selalu tertindas oleh sosok perempuan lemah seperti Rosa.

" Semua yang aku omongkan itu berasal dari omongannya Guru sendiri, loh! Guru pernah bilang, bahwa menjadi lelaki kuat itu harus menyala sebagai penerang, walau dirinya sendiri melelah dan mati."

"Iya ... iya! Bawel banget sih, kamu ini!" gerutuku kesal dengan ocehannya.

"Hehe ... Maaf guru. Jangan baper gitu dong, guru!"

"Sudah ah, gak usah suka nyebut namanya Rosa. Sekarang aku mau berangkat ke Desa. Kamu mau ikut, nggak?"

"Ikut kemana, Guru?"

"Ke desa Mergosari. Ayo cepat siapkan Vespaku kalau mau ikut!"

"Iya ... iya ... aku ikut Guru!" jawabnya cepat. Tanpa dipikir panjang ia bergegas menyiapkan sepeda motor Vespaku yang terparkir di halaman belakang kosan.

Sejurus kemudian, Kami pun melaju ke desa Mergosari. Sebelumnya aku telah berjanji datang ke rumah Pak Parman dalam rangka merekonsiliasi konflik para pejuang tanah di sana. Dan kemarin sore pun Pak Parman telah menelponku untuk datang di hari ini.

*********

Di Desa Mergosari kasus penyerobotan tanah rakyat oleh negara dan pemodal sudah dimulai sejak rezim orde baru bercokol di Jember sekitar tahun 1972-an. Tanah bekas hak erfpacht seluas 300 Hektar itu merupakan hasil kebijakan land reform dari Presiden Soekarno yang diberikan kepada warga desa Mergosari.

Hingga era reformasi bergulir, tanah tersebut tetap tak bisa dimiliki rakyat kembali. Pasalnya secara de jure, rakyat telah kehilangan dokumen riwayat tanahnya karena sudah dilenyapkan dengan paksa.

Dikisahkan oleh masyarakat desa, saat itu di desa Mergosari terjadi peristiwa perampsan pethok-pethok, pembakaran rumah, penyiksaan dan pengusiran warga desa secara bagi yang melawan.

Sebelum pengusiran terjadi, masyarakat diminta menyerahkan pethok dengan imbalan akan dipekerjakan sebagai karyawan perusahaan dan akan diberi uang ganti rugi tanamannya.

Masyarakat menolak atas permintan itu dengan menyembunyikan pethok-pethoknya. Melihat kenyataan itu pihak perusahaan menggunakan akal liciknya.

Melalui kekuatan bersenjata masyarakat dikumpulkan di rumah Kebayan. Alasannya, guna penyerahan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan syarat warga diminta untuk membawa pipil tanah.

Sebungkus Kondom UntukkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang