Terisolasi

269 31 6
                                    

Raynelle terdiam di hadapan bayangannya yang terpantul di kaca jendela. Bukan menatap pemandangan diluar sana, melainkan dirinya sendiri. Ditatapnya wajah yang tak pernah berubah dari puluhan tahun yang lalu, tidak ada tanda-tanda kedewasaan melainkan hanya sedikit saja. Begitu pucat hingga ia lupa bahwa dulu pernah menjadi manusia. Ia merindukan darah panas yang mengalir di setiap nadinya.

Tak lama, satu bulir air mata menetes dari iris merah di matanya. Ia merindukan pelukan ayahnya saat menjadi gadis kecil nan polos. Kebahagiaan kecil begitu dirasakannya sebelum ia mengetahui ganasnya dunia luar. Bukan hanya itu, ia juga merindukan teriknya matahari yang pernah menyiksanya dan juga keringat yang sekarang ini tak dapat dirasakan lagi oleh kulitnya.

Matanya mengerjap saat sepasang tangan melingkar di pingganggnya, membuatnya tersadar bahwa sudah ada bayangan lain di belakangnya dan mendekapnya.

"Lee?"

"Aku tahu kau merindukan masa lalumu, tapi jangan pernah menyesal untuk berada di sampingku."

Mata mereka bertemu di pantulan kaca. "Aku tidak menyesal. Hanya saja...aku merindukan diriku yang dulu."

"Setelah puluhan tahun, kau baru merindukan dirimu yang dulu." Leonel menghela dengan gelisah. "Apa karena ucapan mereka kemarin dan kau merasa tidak pantas?"

"Hmm...yah, sedikit," sahutnya.

Leonel melepas dekapannnya dan berdiri di hadapan Raynelle. "Kalau begitu, mulai saat ini aku melarangmu bercermin." Ia menjetikan jemarinya dan tak lama semua kaca tertutup tirai termasuk kaca jendela di sekelilingnya. "Kau hanya boleh melihat bayanganmu melalu mataku."

Raynelle menatap sosok di hadapannya yang terlihat angkuh dengan tatapan yang lembut. Ia bisa melihat bayangan dirinya pada mata yang redup di sana. "Lee, bukankah...ini terlalu berlebihan?"

"Agar kau tahu betapa pentingnya dirimu di mataku."

Raynelle terdiam dengan wajah bersemu, lantas ia merasa bersyukur karena kulit pucatnya menghindari rona memalukan di pipinya. Nafasnya tercekat saat Leonel mendongakkan wajahnya dengan jemarinya hingga wajah mereka sejajar. Ia memejamkan mata ketika pria itu mendekatkan wajahnya, dan sesaat kemudian ia begitu menantikan kecupan lembut yang akan hadir setelahnya.

"Lee..." erangnya ketika sepasang taring menembus pembuluh darah di lehernya.

"Masih ingat rasa sakit ini Ray?" Suara Leonel menembus pikirannya.

"Sial, kukira dia mau menciumku," umpat Raynelle dalam hati.

Sepotong peristiwa muncul dalam bayangannya dan memenuhi isi kepalanya. Raynelle melihat dirinya yang sekarat dan merasakan sepasang taring yang membuat kehidupannya sebagai manusia seperti terjungkirbalik. Ia masih ingat bagaimana ia begitu menderita dan haus darah pada saat itu.

"Rasa sakit ini yang telah mengubahmu dan menyelamatkanmu dari kematian." Suara Leonel kembali menembus pikirannya.

Raynelle mencengkeram punggung Leonel saat darah di tubuhnya berdesir. Pedengarannya begitu tajam hingga ia mendengar tegukan-tegukan di tenggorokan suaminya. Tubuhnya semakin melemas saat ia menyadari bahwa energinya juga terserap.

"Tidak ada yang berubah dalam dirimu. Bahkan menjadi Vampire pun, rasa darahmu masih sama," kata Leonel setelah melepas gigitannya. "Seharusnya kau tidak perlu khawatir. Tidak ada yang perlu kau takutkan."

Leonel menggendong Raynelle yang terkulai dan membawanya ke pembaringan lalu mengecupnya lembut. "Istirahatlah sejenak, kau sudah terlalu lelah dengan pikiran-pikiranmu."

Di tempat lain, seorang gadis sudah melesat dengan kecepatan tinggi menuju pusat kota dengan membawa beberapa laporan yang sudah disiapkannya. Namun perjalanannya terhenti ketika sekelebat bayangan mengejarnya kemudian mengepungnya.

Book 3 : I'm RafferthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang