Pembalasan

289 30 4
                                    

Raynelle menatap busurnya yang mengkilap diterpa cahaya malam. Dua hari setelah penyerangan itu, membangkitkan amarah pada dirinya. Saat ini ia membiarkan Elizabeth merawat anak-anaknya di perbatasan sementara ia bersiap untuk bergerak. Ia tak bisa membiarkan anak-anaknya dilukai dan nyaris tewas.

"Berhubung kalian sudah menyapa putra-putriku, maka aku juga akan menyapa kalian dengan baik," gumam Ray pada bulan yang terpantul pada busur legamnya.

Raynelle melesat setelah mendapat izin dari Leonel, ia merapatkan tudung kepalanya ketika melawan angin dan melaju. Tujuannya kali ini adalah kediaman Fourie yang jaraknya paling jauh di sebelah barat.

"Raynelle, berhati-hatilah saat kau sudah masuk ke kediaman Fourie. Mereka mungkin bisa merasakan keberadaanmu dan menjebakmu balik," ucap Leonel dalam kepala Ray.

"Ya, akan kuingat," sahut Raynelle melalui pikirannya.

Tak lama Raynelle merubah dirinya menjadi kelelawar ketika sampai di dekat kediaman Fourie. Ia menggantung terbalik sambil mengamati keadaan sekitar. Bangunan besar menyerupai Kastil terpampang jelas di hadapannya, begitu tua namun terkesan elegan.

Disana ada banyak burung hitam yang menatap matanya. Jumlahnya begitu banyak hingga terlihat seperti ratusan titik merah yang menyala di kegelapan. Burung-burung hitam itu adalah simbol Fourie, dan Raynelle mewaspadainya.

"Jangan takut pada burung-burung itu," ujar Leonel dalm pikirannya. "Mereka hanyalah simbolis, bukan mata-mata. Bahkan jika kau tembak satu untuk hidangan makan malampun mungkin tidak masalah."

"Sayangnya aku tak sudi memakan burung terkutuk itu," sahut Raynelle. Namun ada sedikit kelegaan saat Leonel memberi tahukan hal itu. Ia mengepakkan sayapnya dan terbang menuju lubang sempit di bagian atap yang terlihat gelap di dalamnya.

Raynelle kembali dalam wujud semula dan menatap sekeliling. Saat ini ia berada di loteng yang begitu luas, ada beberapa rak buku yang tertata rapi namun terlihat kumuh oleh debu tebal yang melapisinya. Aroma lembab dari jamur dan lumut dari kayu lapuk tercium begitu menyengat bagi Raynelle. Perubahannya menjadi Vampire terkadang membuatnya tak nyaman dengan indera yang serba tajam, bahkan dari jarak jauh pun ia bisa mencium aroma tak sedap yang mungkin akan ia hindari.

Tak lama ia melihat cahaya dari lubang kecil dan mulai mengintip apa yang ada di balik lantai kayu. Ia mulai berjongkok bahkan hampir tengkurap untuk melihat apa yang terjadi di bawahnya.

Raynelle melihat seorang wanita sedang duduk sambil mengelus burung hitam di jemarinya. Wanita itu adalah nyonya Fourie. Tak lama, muncul seorang pria paruh baya yang Ray tahu itu adalah tuan Edzard. Raynelle masih berada pada posisinya untuk mengamati mereka lebih lanjut.

"Aku tak menyangka nyonya Fourie-ku begitu menyayangi burung itu," ujar Edzard pada istrinya.

"Tentu saja tuanku, ini adalah simbol klan kita. Wajar jika aku menyayanginya bukan?" sahutnya sambil melepaskan burung di tangannya untuk terbang keluar. "Bagaimana dengan situasi di kediaman Raffertha? Apa Jules melakukan hal yang menarik?"

Raynelle mengerutkan kening dan menatap mereka serius, setelah mendengar klannya disebut dalam pembicaraan mereka.

"Kudengar anak-anak Raffertha sekarat, bahkan kabar terakhir yang kudapat, putrinya nyaris tak terselamatkan." Tuan Edzard duduk di samping istrinya. "Bukan hanya Jules, Jeremy Barnave juga turut andil dalam penyerangan itu."

"Sepertinya kita harus memberi hadiah pada tuan Barnve atas keberhasilan kita yang pertama. Melumpuhkan dua anak Raffertha sudah cukup untuk menjadi permulaan." Nyonya Fourie menghela sejenak. "Sebenarnya aku merasa kasihan dengan dua anak itu, mereka harus menanggung kebencian dari musuh kedua orangtuanya."

Book 3 : I'm RafferthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang