20.Ragu

2K 127 0
                                    

Hana sedang belajar tentang materi yang dosennya ajarkan tadi. Suara kegaduhan di bawah membuat Hana terganggu. Ini pasti ulah kakaknya, siapa lagi kalau bukan dia? Umi dan Abinya sedang pergi ke kondangan. Hanya kakak dan dirinya yang berada di rumah.

"Gak nyangka aku bisa dapatin Metta. Aku sudah suka sama dia dari dulu." Fathur masuk kedalam rumahnya, lelaki tampan itu tidak sendiri, Hana yang baru turun kelantai bawah mendengus disaat mendengar suara toa kakaknya.

"Sumpah, gak nyangka banget aku." Fathur terus tertawa hingga membuat Hana kesal.

"Gak nyangka, gak nyangka. Masuk rumah tuh ngucapin salam. Bukan gak nyangka, gak nyangka." Cibir Hana, dia bersalaman kepada kakaknya. Fathur kembali tertawa, sepertinya adiknya terganggu dengan suara kerasnya.

"Umi sama Abi mana?" tanya Fathur, dengan celingukan. Hana duduk di depan kakaknya.

"Pergi ke kondangan. Katanya pulang malam mereka." Jawab Hana, sambil menata jilbabnya yang sedikit hancur.

"Oh yaudah, kakak ganti baju dulu. Kamu buatin kopi sama cemilan buat teman kakak. Kakak mau ke kamar dulu." Suruh Fathur, yang di balas anggukan kepala oleh Hana. Dia melirik teman kakaknya sebentar, kemudian dia berjalan ke dapur.

Hana kembali lagi ke ruang tamu dengan membawa nampan yang berisi kopi dan cemilan.

"Silahkan, Mas Abim." Hana tersenyum tipis kearah Abim. Saat dia ingin pergi, Abim memanggil namanya.

"Han..." Panggil Abim, Hana berhenti melangkahkan kakinya. Dia berbalik menatap Abim.

"Aku mau bicara soal...."

"Bim, kamu disini bentar ya? Aku mau nemuin Metta, ban mobil dia bocor di jalan. Aku kesana dulu. Dek, kakak pergi dulu." Fathur terlihat sangat terburu-buru, dia memakai jaketnya sambil berjalan. Rambutnya sangat berantakan, sepertinya kakaknya belum menyisir rambutnya.

"Dan satu..." Fathur kembali lagi, dia menatap Abim tajam.

"Sampai kamu apa-apain adik aku, mati kamu Bim." Fathur tidak main-main dengan ucapannya. Itu bukan ancaman, tapi sebuah warning yang harus di laksanakan dan tidak boleh di langgar.

"Aku tidak sebrengsek itu." Sinis Abim, membuat Fathur tersenyum lega.

"Oke, aku cabut dulu. Assalammualaikum." Seru Fathur, dia bergegas pergi.

Sekarang hanya tinggal Abim dan Hana. Kedua orang itu sedang bardiri dengan canggung. Hana berjalan menuju kolam renang yang juga merangkap sebagai taman. Hana duduk di kursi taman sambil membaca novel pemberian Zahra.

"Apa kabar, Han?" Kalimat tanya yang keluar dari bibir lelaki di belakangnya membuat Hana merinding. Dia menyengkram bukunya kuat-kuat.

"Aku harap kepergianku dulu tidak membuatmu benci kepadaku." Abim berdiri di samping Hana, lelaki tampan itu melirik perempuan yang sedang menunduk dalam.

Ingin sekali Hana berteriak kalau dirinya itu tidak marah, tapi dirinya kecewa. Setelah apa yang dirinya dan dia lewati bersama, Abim pergi meninggalkannya begitu saja.

Tidak ada ucapan selamat tinggal yang keluar dari bibir lelaki di sampingnya, tidak ada penjelasan atas kepergiannya, dan tidak ada pesan yang terkirim di heandponenya.

"Untuk apa aku marah? Memangnya aku siapanya, Mas? Hingga aku sampai marah saat Mas pergi." Hana memberanikan dirinya sendiri untuk menatap mata lelaki yang membuatnya dulu menangis. Lelaki yang dulu pernah membuatnya takut kehilangannya.

"Mas anggap aku ada aja bersyukur. Bukankah semua lelaki itu sama? Hanya mengumbar janji lalu meninggalkan." Sinis Hana, membuat Abim tertegun. Mengapa Hana berfikir seperti itu? Abim duduk di samping Hana.

"Waktu itu aku bingung, Orang tuaku meninggal karena Mesin mobilnya di cabutase oleh Rivalnya. Perusahaan keluargaku hancur tidak tersisa. Aku bingung, aku memutuskan pergi ke london untuk berkuliah disana. Aku hanya punya kakek, Han. Dia membiayai semua kebutuhanku. Saat aku wisuda kemarin, kakekku meninggal karena jatuh dari kamar mandi. Aku merasa sendiri, hingga aku kembali kesini. Aku ingin mengabdi menjadi dokter di tanah kelahiranku." Jelas Abim.

Penjelasan yang Abim ungkapkan sudah cukup membuat air mata Hana berderai. Mengapa saat lelaki di sampingnya sedang mengalami kesulitan, dia tidak ada? Mengapa dia malah berfikir Abim meninggalkan dirinya karena dia mencintai perempuan lain?

"Aku tidak pernah lupa dengan janji taarufku dulu, saat aku ingin datang ke rumahmu untuk bertemu dengan kedua orang tuamu, Zahra memberi tahuku bahwa kamu sudah menikah. Aku sempat kecewa kepadamu. Kenapa kamu tidak menungguku sebentar saja? Kenapa kamu malah menerima lamaran dari lelaki lain? Kenapa kamu bisa melupakan cinta kita dengan sekejap?"

Mendengar kata sekejap, Hana langsung menoleh kearah Abim. Hampir 4 tahun Abim meninggalkan dirinya tanpa kabar. Lalu apasalah jika dia menerima lamaran orang lain? Toh ini bukan kemauannya.

"Ini semua bukan salahku, aku...."

"Aku tahu, aku tidak percaya hal itu akan terjadi kepadamu. Tega sekali lelaki itu berbuat keji." Potong Abim, membuat Hana tersenyum getir.

"Assalammualaikum..." Seru Uminya, membuat Hana dan Abim saling tatap.

"Waalaikumsalam." Balas Abim dan Hana kompak. Mereka berdua berjalan menuju pintu utama.

"Kayaknya Abi pernah kenal deh Han sama laki-laki yang berdiri di samping kamu itu." Ucap Najib, sambil mengingat-ingat. Abim tersenyum tipis kepada kedua orang tuanya Hana.

"Iya, ya, Bi, Kayak gak asing gitu." Timpal Maryam, dia menatap Abim dengan kening berkerut.

"Aku Abim, Abi, Umi. Temannya Fathur waktu SMA dulu. Yang sering tidur disini." Abim menyalami tangan kedua orang tua Hana.

"Oh Abim yang dulunya sering kerja kelompok disini? Yaallah nak, Maaf ya, Maklum, abi udah tua. Jadi ingatannya agak hilang." Balas Najib, sambil tersenyum kearah Abim.

"Tambah ganteng ya Bi sekarang?" Timpal Maryam. Mereka duduk bersama sambil berbincang-bincang asik di ruang tamu.

***

Davit melihat dari kejauhan Adiknya sedang bermesraan dengan seorang perempuan, tapi siapa? Bukannya papanya bilang kalau Angga itu sudah menikah? Tapi sekarang....

"Yank, aku mau ngenalin kamu ke orang tua aku." Angga mengusap punggung tangan Meli, sambil menciumnya. Perempuan itu terlihat biasa saja. Davit merasa jijik melihatnya, perempuan macam apa itu? Harusnya dia menepis tangan Angga yang tidak mahramnya memegang telapak tangannya.

"Maaf sayang, aku belum siap." Mendengar jewaban yang Meli berikan, membuat rahut wajah Angga kecewa. Dari dulu hingga sekarang Meli selalu menolaknya dengan alasan belum siap.

"Kapan kamu siap?" Tanya Angga, dengan rahut wajah datar. Dirinya sudah melepas segalanya demi dia. Tapi apa yang dirinya dapat?

"Maaf, aku harus pergi." Meli menarik tangannya, lalu dia berjalan pergi keluar dari restoran. Pakaian yang Meli kenakan membuat Davit tersenyum miring. Apa selera adiknya begitu rendah? Hingga dia sampai memilih perempuan yang mengenakan baju kurang bahan seperti itu.

"Aku bingung dengan kamu, Mel. Harusnya kamu senang aku kenalin ke orang tua aku. Tapi apa? Kamu malah seperti ini. Entah kenapa aku semakin ragu denganmu." Gumam Angga, kecewa.

Davit mengeluarkan heandponenya dari saku celananya. Dia mengetik sesuatu di layar heandponenya. Bibirnya tertarik ke atas. Siapa perempuan itu? Lagaknya mencurigakan.

Davit menatap adiknya yang keluar dari restoran dengan wajah murung. Dirinya tahu bentul Angga, lelaki itu tidak pernah murung jika hanya masalah sepele yang dia hadapi.

Derita Cinta Pernikahan ( Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang