PROLOG

93 16 6
                                    

Hujan sementara deras-derasnya di kota Makassar. Begitu lebat disertai suara petir yang menggelegar seperti hendak membolak-balikkan langit, langit kelabu sesekali menampakkan warna terang yang kemudian diiringi suara gemuruh. Sambil berteduh di Toko Emas Abadi Somba Opu yang merupakan toko perhiasan di suatu kawasan Makassar, sekaligus Agniya dan Dipta sibuk memilih cincin tunangan. Di toko tersebut terdapat meja dan kursi-kursi yang nyaman tempat negosiasi  bisa dilangsungkan dalam suara rendah.

Sebuah kotak berwarna merah dari kulit diantarkan dan dibuka dengan khidmat di depan mereka berdua. Agniya nyaris mengerjapkan mata melihat sederetan batu berlian berkilau yang ditampilkan. Ia melihat cincin-cincin itu satu per satu, berlian tunggal, permata, batu safir, tiga atau lima batu berderet, serta rangkaian batu, sambil mendengarkan pemilik toko menggumamkan karat, warna dan berbagai macam harga. Semuanya terlihat indah, tapi entah kenapa seperti tak ada pengaruh bagi Agniya. Ia merasa sedang manatap sederetan air mata beku. 

“Bagaimana dengan yang ini?” Dipta mengacungkan cincin dengan sederet berlian begitu besar dan luar biasa sampai membuat cincin-cincin yang lain tampak tak berarti.

"Yang ini cantik" Agniya justru memilih cincin yang berkilau dengan satu berlian kecil berwarna putih di tengahnya. Sepintas ia membayangkan betapa cantik dan elegannya cincin itu saat tersemat di jari manisnya.

"Iya bagus" sahut Dipta, ia berdiri di samping Agniya dengan senyum manis dan ikut memegang cincin cantik itu. Mereka berdua memutuskan untuk mengambil cincin tadi.

Hujan baru saja reda, tapi rintiknya masih sedikit ada, mereka berdua meneruskan berjalan ke toko-toko berikutnya sambil melihat-lihat souvenir dan hiasan bunga-bunga untuk dekorasi tunangan.

Sampai di toko dekorasi tunangan, sesekali Agniya berkomentar saat Dipta bertanya sambil menunjukkan beberapa souvenir dan bunga-bunga, kadang Agniya juga ikut memilih bunga-bunga. Tapi, Dipta hanya menyarankan kepada Agniya agar tidak terlalu kelelahan akhirnya Agniya hanya dibiarkan duduk sambil sesekali ia mengamati wajah Dipta.

Dipta terlihat begitu tampan, dewasa dan berwibawa sekarang. Begitu kesan pertama bagi siapa saja yang melihatnya. Tubuhnya tinggi semampai, terlihat bibirnya begitu seksi memberikan senyuman kecil, cukup untuk bisa membuat semua orang menyimpulkan bahwa dia memang sangat menawan.

Begitulah kehidupan, kadang semua seolah serba kebetulan. Begitupun dengan Agniya dan Dipta yang dipertemukan takdir dalam satu institusi pendidikan, mereka berdua menempuh pendidikan S1 di kampus yang sama, begitu banyak cerita yang dulu mereka lalui bersama-sama, saat-saat mereka berdua masih berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri yang ada di Makassar, saat-saat dimana mereka pertama kali bertemu dan saat dimana Dipta harus berjuang mendapatkan Agniya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MENAKLUKAN RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang