MEMPERJUANGKAN SI DIA

83 10 2
                                    

Siang itu teramat terik, pancaran sinar mentari semakin menggila menyengat tanpa ampun seakan hendak membakar tubuh, membuat Agniya tak henti mengusap keringat di dahinya. Semua materi yang sejak tadi dijelaskan pak Umar satupun tak ada yang bisa mangkal di otak Agniya.

Mata kuliah Ilmu Nutrisi Ternak, penyusunan ransum dengan metode coba-coba, metode bujur sangkar dan persamaan aljabar berat bawaannya.

Meskipun begitu, Agniya tetap tenang duduk termangu di dalam ruangan yang sangat gaduh. Ruangan itu seperti pasar yang baru menggelar dagangan dan semua penghuni berteriak mencari pelanggan. Agniya menghela napas, lalu menempelkan tangan ke pelipis sambil melihat beberapa temannya yang dari tadi riuh merasa kesulitan dengan materi perkuliahan saat ini.

Sesekali Agniya mencatat, kemudian melirik lagi coretan-coretan kecil berisi nama-nama bahan pakan beserta kandungan nutrisinya di bukunya.

Terbayang nikmatnya kopi susu dan roti sarikaya di warkop Phoenam, ya di sanalah tempat Agniya lari dari hiruk pikuk perkuliahan yang semakin hari semakin melelahkan. Belum lagi laporan praktikum belum juga diselesaikan Agniya, padahal asisten dosen sudah bosan menagihnya.

Hari itu Agniya menjalaninya dengan sangat singkat, dari kampus langsung pulang ke kostan, mandi dan langsung melesat menuju warkop tempatnya beristirahat dari kehidupan kampus yang melelahkan.

Kedai kopi itu terletak di pinggir jalan, tiap hari ramai didatangi pengunjung seakan-akan kehidupan terus berjalan di sini karena buka duapuluh empat jam, ada yang sekedar ngopi, kerja tugas, berbincang, bahkan ada juga yang ngopi sekaligus membaca buku, karena kebetulan di warkop itu merangkap dengan perpustakaan kecil agar anak muda bisa sekaligus membaca di tempat itu.

Pada saat yang sama seorang pelayan pria setengah baya mendekati Agniya dan tersenyum ramah padanya.

"Selamat sore Agniya, apakah kau ingin memesan sesuatu?"

Agniya mendongak dan menatap wajah yang ramah itu dan tersenyum. Pelayan itu sudah hapal betul nama Agniya, bagaimana tidak, karena Agniya hampir tiap minggu datang.

"Seperti biasa, roti sarikaya" ucap Agniya pelan lalu menatap pelayan yang membukukkan badan itu.

Sepotong roti sarikaya dengan secangkir kopi sedikit gula membuat perasaan Agniya begitu rileks. Sore ini Agniya sengaja duduk di deretan bangku ke dua untuk sekedar membaca novel.

Roti sarikaya sudah tersisa sedikit, kopi yang dari tadi di meja juga sudah hilang panasnya. Setelah menamatkan buku yang terlihat agak tipis itu, Agniya langsung berjalan menuju pintu keluar bergegas untuk pulang.

Namun di tengah langkahnya, ia malah menabrak seseorang sampai terjatuh. Ingin rasanya Aginya marah, namun sebelum marah, ia terkejut melihat wajah orang itu, sesekali ia mengusap mata karena tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Iya, orang yang menabrak Agniya sampai terjatuh adalah Dipta, laki-laki yang beberapa bulan lalu sempat ia temui di depan ruangan bahkan sempat belajar dalam satu ruangan yang sama saat itu.

Mereka berdua saling beradu pandang. Sesaat kemudian Agniya mengerjap-ngerjapkan mata seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sementara itu amarah yang tadinya memuncak kini perlahan mulai redam, ada perasaan yang entah apa juga membuncah di dadanya, rona pipi Agniya berubah warna menjadi kemerah-merahan mengisyaratkan bahwa dia sedang tersipu malu.

Sadar mereka berdua sedang menjadi pusat perhatian pengunjung di tempat itu, Agniya kemudian pergi meninggalkan tempat itu tanpa mengatakan apapun pada Dipta. Dipta yang hendak meminta maaf terus mengejar dan memanggilnya berulang kali. Langkah Agniya semakin cepat dan cepat, tapi akhirnya Dipta masih bisa menyusulnya.

MENAKLUKAN RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang