BAB 18

47.8K 3K 29
                                    

Bintang, Tirta dan Rain sedari tadi masih membolak balik buku menu bukan mencari makanan yang enak tapi mereka mencari harganya yang murah.

"Ini makanan atau apa, terus bunda baru pulang besok" bisik Tirta ke Bintang.

"Hey....kalian mau pesan apa, atau makananya kalian tidak suka" khawatir Bara melihat anak anaknya sedari tadi hanya melihat lihat buku menu.

"Tidak terimakasih lebih baik kita air putih...aja iya air putih" celetuk Bintang yang ia sendiri juga bingung.

Bara mengulum senyum dan menyatukan tangan ketiganya lalu ia genggam sembari menatap mereka satu persatu.

"Kalian...adalah anak-anak ayah, meski ayah tahu kalian belum bisa menerima ayah dengan kesalahan ayah yang gak bisa dimaafin bahkan di ampuni oleh tuhan, tapi setidaknya biarkan ayah bisa melihat anak-anak ayah bahagia karena ayah" ucap tulus Bara.

"Tidak seperti itu tuan. Tapi kita diajarkan oleh bunda kami agar tidak bergantung kepada orang asing" celetuk Rain membuat hati Bara sekali lagi merasa sakit.

"Kalau ayah memang orang asing bagi kalian tapi beda hal lagi dengan ayah kalian adalah permata dan harta kekayaan ayah" Tirta dan Rain tersenyum sinis sementara Bintang merasakan betapa rapuh dan penyesalan didiri Bara.

"Permata hati...anda bilang. Dulu anda tidak menginginkan kehadiran kami dan ingin membunuh kami tapi sekarang anda berani bilang kalau kami permata hati anda bullshit" ucap Tirta penuh penekanan.

"Maaf...maafin ayah, ayah memang bodoh dulu pernah melakukan hal keji...itu maafin ayah...ayah menyesal dan untuk sekarang ayah sungguh tidak mau kehilangan kalian lagi apalagi untuk kedua kalinya" Bintang merasa kasihan kepada pria dihadapanya ini.

"Tirta, Rain udah untuk saat ini kalian harus tenang, dan kakak tahu perasaan kalian bagaimana saat berhadapan dengan orang yang udah jelas pernah menyakiti kita terutama bunda" tutur Bintang tidak ingin adanya keributan.

"Maaf tuan kalau perkataan adik adik saya menyinggung anda, tapi saya bisa maklum dan sadar kenapa adik-adik saya bisa berbicara seperti itu" Bara tersenyum kecut dan terus berharap sampai kapan ia akan mendapatkan pengakuan dari anak anaknya.

"Ayah juga sadar kalau kalian seperti ini juga karena ayah. Yaudah sekarang kalian pesan makan gih atau ayah yang pesenin"

Bara merasa hatinya hancur saat anak anaknya tidak memperhatikanya, dan lebih menatap dirinya datar.

"Pelayan saya pesan kepiting saus padang, cumi goreng mentega, ikan bakar, kerang putih tauco pokoknya menu utama saya mau hidangkan disini semua" mereka mendelik kaget saat Bara memesan itu semua.

"Maaf tuan kami bukan gelandangan yang harus dapat belas kasih sebanyak itu dari orang terhormat seperti anda" ucap Bintang merasa tidak enak hati.

"Kalian bukan gelandangan, kalian adalah anak anak ayah..." seru Bara tersenyum manis.

"Bullshit.." gumam Rain tertawa sinis.

"Ya tuhan kenapa rasanya sesakit ini, tapi aku sadar ini lha balasan yang tepat untuk ku" batin Bara.

"Gimana sekolah kalian hari ini" tanya Bara mencairkan suasana.

Bintang melirik kedua saudaranya yang hanya cuek mengacuhkan Bara.

"Biasa saja" jawab datar Bintang diangguki Bara.

Drtt...drtt...
Getaran ponsel Bintang berbunyi dan terlihat nama username bunda mereka.

"Assalamualaikum bunda" ucap Bintang mengangkat telphone.

"Bunda kak" tanya Rain dengan mata berbinar diangguki Bintang.

"Load speaker aja" seru Tirta.

"Waalaikumsalam, Bintang kamu sama adek adek nggak" suara Bulan di sebrang sana.

"Iya bunda ini sama Tirta Rain" jawab Bintang.

"Hallo adek inget meski bunda gak ada dirumah jangan lupa makan, terutama kewajiban sholat" tegas Bulan membuat Bara yang mendengarnya tersenyum dan menyadari begitu sayang dan kerasnya Bulan mendidik anak anaknya.

"Iya bunda kita ngerti kok, dan juga bunda di sana jangan lupa makan kalau kerja jangan diforsir" ucap Rain.

"Jaga diri kalian baik baik besok bunda udah pulang, yaudah bunda matiin dulu assalamualaikum" Bulan memutus sambungan telphone.

"Waalaikumsalam" balas mereka.

Tak lama pesanan Bara datang, dengan sekitar lima pelayan membawa makanan mereka.

"Rain lo pimpin do'a" seru Bintang membuat Bara kikuk ketika akan mengambil makanan.

"Berdo'a mulai" ucap Rain.

"Berdo'a selesai" mereka bertiga kikuk dan canggung ketika ingin mengambil makanan itu.

"Ayo makan" seru Bara.

Mereka hanya mengangguk dan makan dengan perlahan.

"Boleh ayah bertanya...memangnya bunda kalian kemana" tanya ragu Bara.

"Ke Surabaya" jawab singkat Tirta.

"Ngapain" Bara sedikit merasa bahagia setidaknya anak anaknya mau menjawab pertanyaanya.

"Urusan perkejaan" Bara terdiam mendengarnya dan memikirkan beratnya kehidupan Bulan harus jadi kepala rumah tangga sekaligus selama ini.

"Bunda wanita kuat yang menghidupi ketiga anaknya selama ini, tak memperdulikan apapun bunda selalu mengutamakan kebahagiaan anak anaknya" celetuk Rain tersenyum.

Bara mengangguk membenarkan bahkan dirinya kagum dengan sosok Bulan wanita yang ia cintai selama ini.

"Kalau kalian selesai makan, kalian mau nggak tinggal di rumah ayah karena ayah takut terjadi sesuatu sama kalian karena sendiri dirumah" tanya Bara dengan ragu ragu. Takut salah mengucapkan.

"Maaf tuan kami tidak ingin punya balas budi kepada anda sudah cukup banyak anda membantu kami. Dan anda tidak perlu khawatir saya dan saudara saudara saya akan membayar semua ini" ucap Bintang dengan tegas.

"Sampai kapan hm...sampai kapan kalian akan membenci, marah sama ayah bahkan ayah sadar kalau ini adalah hukuman buat ayah" Bara menitihkan air matanya menatap ketiga anaknya dengan penuh rasa penyesalan dan harapan.

"Anda tahu luka berdarah bisa saja sembuh tapi apa bekas goresanya akan hilang tak menimbulkan jejak. Jawabanya tidak kan sama seperti itu anda di mata kita" jawab Tirta menatap nyalang Bara.

"Maaf..." berkali kali kalimat itu sudah diucapkan Bara, tapi hati ketiga anaknya layaknya batu.

VOTE & COMEENT

My triplets sonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang