"Sekolahnya gimana, Bel? Udah lama Papa nggak denger ceritamu tentang sekolahanmu itu," celetuk Papa di sela-sela heningnya ruang keluarga. Hanya ada suara televisi dari film azab yang Mama tonton, lalu Dino yang lagi nikmatin kacang polong di toples. Seperti biasa, Mama-lah sang penguasa remot. Gue cuma ngikut apa yang Mama tonton. Kadang juga sinetron Anugerah Cinta itu tuh, yang lagi viral jadi perbincangan Mama dan ibu-ibu komplek pas pada ngumpul di Mamang sayur.
"Ya gitu-gitu aja," jawab gue seadanya, mulai ngeraih toples kacang yang dipangku Dino.
"Kamu nggak di-bully kan? Kalo ada langsung ngomong ke Papa," dia malah membahas tentang bully. Apaan sih? Toh orang-orang Star Elite juga bodoamatan.
"Enggak, Pa. Mereka nerima Bella dengan baik." sahut gue seadanya. "Baguslah." jawab Papa. Lalu kita mulai fokus menonton televisi lagi.
Keluarga ini selalu aja nyisain keheningan saat sedang serius, entah nonton tv atau yang lain. Terkadang, kalau Papa lagi di luar kota gitu, Tante Rina---Mamanya Rado, suka dateng ke rumah buat nemenin Mama. Maklum, Mama tuh orangnya penakut. Ada kucing jatohin panci aja dibilang ada setan, sampai hampir ngundang Pak Ustadz Ali buat ke rumah.
"Yaampun. kalian jangan pernah durhaka ya, Nak. Nanti jadi kayak dia," Mama menunjuk layar tv sambil nutup mulut, nggak nyangka dengan apa yang dia tonton. Mulai deh, lebay-nya Mama kumat.
Gue cuma menanggapi dengan memutar bola mata malas. Lagian nggak mungkin kan gue durhaka dengan orang yang paling gue sayangi di dunia ini? Mama nih, terlalu baperan sama sinetron.
"Jenazahnya ampe nggak muat gitu, iiihh serem ah," celetuk Mama lagi. Papa noleh ke gue dan Dino bergantian, sebelum nahan tawa. Mau nggak mau gue juga ikut ketawa.
"Apaan sih? Pada senyam-senyum gitu," Mbak Mei yang baru turun dari kamar dengan piyama dan masker-nya itu kebingungan lihat tiga orang yang ada di ruang keluarga cekikikan sendiri. Beberapa detik kemudian, dia ngangguk-angguk paham setelah pandangannya mengarah ke Mama.
"Wuidih. Pilem apaan, Ma? Seru banget kayaknya." Mbak Mei pura-pura tertarik, gue udah nggak tahan mau ketawa.
"Sssstt diem! Ini lagi seru,"
Mbak Mei cuma mendelik, beranjak dari duduk buat ngambil cemilan di dapur.
Keluarga harmonis? Iya. Gue selalu pengen keluarga gue kayak gini terus sampai hari akhir. Keluarga lengkap, dan nggak ada yang ngerasa tersakiti. Gue bahagia banget bisa lahir di keluarga ini, berkumpul dengan Mama-Papa, lalu punya kakak dan adik yang selalu bisa bikin gue nggak terpuruk.
Asisten rumah tangga? Kita nggak perlu itu semua. Papa pernah nawarin Mama buat mempekerjakan pembantu, tapi Mama malah bilang, 'Papa pikir Mama nggak bisa urus rumah sendirian??' sambil sewot dan Papa cuma nge-iyain keputusan Mama. Anak-anak Mama-Papa nggak ada yang manja, kami semua dididik jadi mandiri dan penolong. Kata Papa, 'kalian harus bisa menolong diri sendiri sebelum menolong orang lain, karena mereka pasti ngelihat kalian dari akhlak, jadi pinter-pinter perbaikin diri ya,' gitu. Aaaaaaa Papa, saranghae.
"Mbak."
Gue menoleh pas Dino berbisik pelan, "paan?"
"Kenal kan sama anak depan?"
Anak depan yang mana sih?? Tetangga di depan rumah tuh banyak banget.
"Siapa? Mutia?"
Dino mendecak, mendelik sinis sebelum ngomong lagi. "Bukan. Bang Ado, tau kan? Satu sekolah sama Mbak juga kok,"
Fyi, Mutia itu bocah kelas satu SD yang naksir sama Dino. Setiap Dino pulang sekolah dan lagi jalan kaki di area komplek, Mutia sering teriak-teriak manggil nama Dino sambil bikin heart sign. Dino yang malu langsung ngacir ke dalam rumah terus curhatin itu ke gue. Ya gue ngakak dong.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bella's World
Teen Fiction[illustration (in the cover) by @moonmistix] Bella pikir, dengan pindahnya dirinya dari sekolah lama di Jogja akan merubah kehidupan membosankannya. Juga beberapa cibiran yang membuat telinga Bella panas saat mendengarnya. Pindah ke Star Elite Highs...