Sendirian

153 11 11
                                    


“Jangan panik di sana ya Goushi, aku akan segera kembali dan memindahkanmu ke rumah sakit lain” ucap Yashamaru dari balik telepon. Tanpa menjawab sepatah katapun, Goushi segera menutup telfonnya. Ia menyandarkan dirinya ke dinding sambil menghembuskan nafasnya yang panjang.

Karena menerima kabar ibunya, tubuh Yuta menjadi lemas. Ia tak henti-hentinya menangisi kepergian ibunya.

Melihat keadaan Yuta yang memprihatinkan, Kento dan Yashamaru memutuskan untuk pergi ke rumah Yuta, dan membantunya melakukan upacara kematian untuk ibunya. Sejak saat itulah Goushi sendirian di ruangan.

Sebenarnya, Kento sudah menawarinya untuk ikut bersamanya. Kento bisa membawanya Goushi ke mobil secara diam-diam.

Namun karena Goushi merasa tak berguna dengan keadaannya yang sekarang, dan merasa akan membebani mereka bertiga. Akhirnya Goushi menolaknya mentah-mentah dan lebih memilih berdiam diri di ruangan ini.
Ia tak mau membebani Yuta dengan keadaannya, apalagi berita tentang ibunya itu sudah membuat temannya itu cukup terpukul. Jadi Goushi lebih memilih untuk berdiam diri di rumah sakit, walaupun dirinya sendiri juga sedang berada di dalam bahaya sekarang.

Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, dan Goushi masih belum bisa tidur. Bola mata merahnya itu terus menatap dinding-dinding rumah sakit, pikirannya terus melayang tanpa arah.
Ia membolak-balikkan badannya, menutup kepalanya dengan bantal, menyelimuti dirinya dengan selimut, dan mengatur suhu AC untuk merubah suasana. Namun semua usaha yang ia lakukan sia-sia. Matanya masih belum mau terpejam.

Rasa was-was terhadap peneror, Kekhawatirannya pada kondisi Yuta, dan bayang-bayang tentang dua kali kematian yang dialaminya masih menghantui hingga sekarang. Darah kering Yuta yang menempel di dinding, Foto Yuta yang terpajang di depan peti matinya, Kento yang kehilangan kemampuannya untuk berjalan, Rasa perih tusukan pisau, sakitnya kehilangan banyak darah, sakitnya terjatuh dari atas gedung masih terngiang-ngiang di pikirannya. Semua kenangan buruk itu masih menghantui pikirannya sekarang.

Saat ia sendirian di ruangan seperti ini, tak ada lagi orang yang bisa menenangkannya. Di saat teman-temannya tidak ada di sini untuk menemaninya tidur, Goushi malah terbayang akan kenangan-kenangan buruk dikala itu.
Ia menarik rambutnya sendiri untuk menyadarkan dirinya. Ia juga beberapa kali meninju dinding dengan keras untuk melupakan semua itu. Namun semua usahanya tak berbuah apapun.

“SIALLLLLLL...........................SIALLLLLL................SIALLLLL...............” Teriaknya. Air matanya jatuh menetes, membasahi pipinya yang memucat, “Kenapa aku harus teringat hal itu lagi! bukannya aku sudah bertekat untuk menyelamatkan Yuta!” ucapnya lirih.

Goushi kembali menyadarkan badannya ke dinding. Ia mengusap air matanya dengan perlahan. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri supaya emosinya tak meluap lagi.

Karena ini semua adalah jalan yang ia pilih, maka ia harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Ia harus menangani semua masalah yang akan datang kepadanya. Karena, Ia harus menyelamatkan Yuta, melindungi Kento, dan mencegah Thrive bubar. Ia tak mau menyerah sekarang, ia harus kuat.

Dan di saat itulah, tiba-tiba........
“KRIETTTTT..............................”
Tiba-tiba cendela terbuka dengan sendirinya. Goushi yang dari tadi melamun dibuat kaget.

Kewaspadaannya langsung meningkat dengan tajam, mengingat keadaannya sekarang sedang terancam.

“SIAPAAAA ITUUUUUU...............?” teriak Goushi dengan lantang. Ia segera menyambar pisau yang ditinggalkan Kento di meja untuk berjaga-jaga.

Goushi mengacungkan pisau itu ke arah cendela. Ia mengambil ancang-ancang untuk menerkam, walaupun kakinya masih belum mau merespon tubuhnya dengan baik. Ia harus selamat, ia tak mau kalah, Ia harus hidup. Karena ia masih punya kewajiban, yakni menyelamatkan Yuta.

I'll Protect YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang