Bagian 3

4.2K 165 4
                                    

Setelah terdiam dan memikirnya sebentar. Akhirnya aku mengambil sebuah keputusan.

"Baiklah Om, Nuri mau," ucapku.

"Mau apa?" tanyanya memperjelas.

"Melanjutkan pernikahan kita."

"Kamu serius?"

"Iya." Aku menganggukkan kepala.

Yah, walaupun tidak cinta, tapi aku suka dengan sosoknya yang dewasa. Terlebih lagi, aku tahu dia pria yang bertanggung jawab. Tidak seperti anaknya. Setidaknya ini juga lebih baik, daripada menjadi janda di usia muda.

"Syukurlah, kalau begitu. Om berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," ucapnya serius.

"Iya, Om," jawabku dengan senyum tipis.

***

Bruk!

"Auch!"

Aku terbangun, ketika mendengar seseorang mengaduh. Netraku sontak melebar melihat Om Hadi yang terduduk di lantai.

"Om, nggak apa-apa?" tanyaku panik.

"Aduh! Pinggang Om sakit nih. Kamu tidurnya heboh sekali," dumelnya.

"Maaf Om, tadi Nuri mimpi buruk. Jadi nggak sengaja menendang Om deh."

Aku tidak berbohong. Aku memang bermimpi buruk. Bertemu dengan Romi dan aku menendangnya sekuat tenaga. Eh, tidak tahunya malah papanya yang kena.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Tolong bantuin Om bangun," pintanya.

Aku mengangguk dan bergegas membantunya untuk naik ke ranjang.

Sebenarnya setelah pembicaraan semalam. Om Hadi meminta agar kami tidur sekamar. Sebagai istri, aku tidak bisa menolaknya. Apalagi aku sendiri juga sudah menyetujui untuk melanjutkan pernikahan ini.

"Kamu bisa mijit tidak?" tanyanya tiba-tiba.

"Eh, bisa sih Om dikit-dikit. Om mau Nuri pijit?"

"Iya, kalau kamu tidak keberatan."

"E-enggak kok Om. Sebentar Nuri ambil minyak kayu putih dulu."

"Hmm."

Setelah membaluri pinggangnya dengan minyak kayu putih, aku pun mulai memijitnya pelan.

Sebenarnya malu juga, ini pertama kalinya aku memijit seorang pria. Karena sebelumnya aku hanya pernah memijit ibuku yang notabenenya adalah seorang wanita.

"Ugh!"

"Kenapa Om, sakit ya?"

"Eh, enggak. Udah lanjutin aja."

Aku mengangguk dan meneruskan memijit pinggangnya.

Setelah selesai, aku turun untuk meminta Bik Sum mengantarkan sarapan ke kamar.

"Bik, tolong sarapan saya sama Om Hadi dibawa ke kamar aja ya," ucapku padanya.

"Oh, baik Nyonya. Segera saya suruh anak saya mengantarkannya," jawabnya.

"Makasih, Bik."

"Sama-sama Nyonya."

***

Karena insiden tadi pagi, hari ini Om Hadi tidak pergi ke kantor dan memilih untuk beristirahat di rumah. Aku yang merasa bersalah, pergi ke dapur, berniat untuk membuatkannya jamu.

"Nyonya sedang apa?" tanya Bik sum, menghampiriku yang sedang memegang kunyit.

"Ini Bik, saya mau bikin jamu, tapi nggak tahu bahannya apa-apa saja ya, selain kunyit?" Aku balik bertanya.

Mendengar pertanyaanku, bukannya menjawab. Bik Sum malah mesem-mesem sendiri. Aneh.

"Bik!" panggilku seraya melambaikan tangan di depan wajahnya.

"Eh, iya Nyonya. Nyonya mau jamu apa? Biar saya saja yang buatkan."

"Jamu sakit pinggang, Bik."

"Oh, Bibik kira mau bikin jamu kuat."

"Apaan sih, Bik.

"Hehe. Bercanda, Nyonya."

***

Setelah beristirahat dan meminum jamu buatan Bik Sum. Sorenya, Alhamdulillah pinggang Om Hadi sudah tidak sakit lagi katanya.

"Maaf ya Om, atas insiden tadi pagi."

"Iya tidak apa-apa, tapi nanti malam Om tidur dekat dinding saja. Takutnya kamu tendang lagi."

"Hehehe, Om bisa aja."

"Oh iya, minggu ini Om berencana ingin mengadakan acara keluarga, untuk mengenalkan kamu pada keluarga besar Om. Bagaimana pendapatmu?"

"Emh, memangnya harus ya Om?"

"Tentu saja. Kalau tidak cepat dijelaskan nantinya bisa ada yang salah paham, melihat kamu tinggal di sini. Memangnya kenapa?"

"Nuri takut, keluarga Om ngomongin Nuri yang enggak-enggak. Beberapa dari mereka kan, tahunya Nuri ini calon istrinya Romi."

"Jangan khawatir. Om yang akan bicara pada mereka dan Om pastikan, mereka tidak akan mengatakan hal buruk tentangmu."

"Kok, Om bisa yakin?"

"Lihat saja nanti, kalau kamu tidak percaya."

"Baiklah, Nuri ikut apa kata Om saja."

***

Hari minggu pun tiba. Aku memakai dres panjang berwarna putih untuk acara hari ini, senada dengan warna kemeja yang dipakai oleh Om Hadi.

Setelah menikmati hidangan yang ada, kami semua berkumpul dan mengobrol di ruang tengah.

"Wah, selamat ya Di. Nggak nyangka dapat daun muda," ucap salah seorang keluarga Om Hadi.

"Iya, Mas Alhamdulillah," jawab Om Hadi santai. Sedangkan aku, dari tadi hanya menebar senyum tipis saja.

Sepanjang acara, aku tak banyak bicara dan hanya mengikuti kemana Om Hadi pergi. Untungnya benar apa kata Om Hadi, tidak ada seorang pun yang bertanya tentangku dan Romi.

Lalu di tengah-tengah acara, kami dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita, yang tiba-tiba saja menarik Om Hadi menjauh dariku.

"Mas, aku mau bicara!" ucapnya lantang.

Semua mata tertuju pada wanita itu. Sementara Om Hadi malah memandang ke arahku. Dari sorot matanya, dia seolah meminta persetujuan.

Aku menganggukan kepala, tanda mempersilahkannya.

Setelah mereka pergi, aku bertanya pada Tante Hana, adik kandungnya Om Hadi. "Itu tadi siapa ya Tan?"

"Oh, itu Helma. Adik dari Almarhumah istri pertamanya Mas Hadi," jawabnya.

"Oh," tanggapku singkat.

Kurang lebih lima belas menit kemudian, Om Hadi kembali ke ruang tengah, namun tidak bersama dengan wanita tadi.

Jujur, aku penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, tapi untuk menanyakannya, saat ini tidak mungkin juga.

Bersambung...

Suami DadakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang