Bagian 8

4K 152 2
                                    

"Sebenarnya apa sih mau kamu Rom?!" bentakku marah.

"Kamu mau tahu?" Romi bergerak mendekatiku. "Aku menginginkanmu," bisiknya.

Aku memundurkan tubuh.Tak nyaman dengan posisi kami.
"Jangan gila kamu! Apa kamu lupa, aku ini sudah jadi istri papamu dan kamu sendiri juga kan sudah punya istri."

"Aku dan Sindy hanya menikah siri. Dari awal dia juga sudah tahu kalau aku tidak pernah mencintainya, jadi tidak akan ada masalah. Aku hanya perlu merebutmu kembali dari papa."

"Aku nggak nyangka, ternyata pikiran kamu sepicik ini. Kamu pikir pernikahan itu sebuah permainan? Yang bisa kamu mainkan dan tinggalkan seenaknya. Enggak Rom, pernikahan itu sesuatu yang serius!"

"Aku tahu itu. Tapi pernikahan juga harus berlandaskan cinta kan? Aku nggak mencintai Sindy dan aku yakin kamu juga nggak mencintai papaku."

"Oleh karena itu, aku memintamu untuk kembali padaku. Aku berjanji akan membahagiakan kamu dan menebus semua kesalahanku."

"Aku tidak mau. Memang benar aku belum mencintaimu papamu, tapi ada seseorang yang berkata, bahwa cinta itu bisa diusahakan bersama, dan aku mau berusaha untuk mencintai papamu. Jadi, kuharap kamu juga begitu."

"Kamu sudah memilih meninggalkanku waktu itu, maka jangan lagi mengingatku. Jalani pilihanmu dan aku juga akan berjalan di pilihanku."

Setelah mengatakan itu, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Romi yang masih berdiri mematung.

***

"Haaah!" Sebulir tetes bening jatuh dari pelupuk mata.

Kenapa? Kenapa setelah apa yang dia lakukan padaku, dia masih saja menggangguku. Apa belum cukup dia menyakitiku.

Tok. Tok. Tok.
"Nuri, buka pintunya! Aku mau bicara." Romi tiba-tiba mengetuk pintu kamarku.

"Pergilah Rom! Aku nggak mau bicara sama kamu," jawabku dari balik pintu. Untung saja tadi aku kepikiran untuk menguncinya. Jika tidak, mungkin Romi sudah nekat untuk masuk ke dalam.

"Please Nur, sebentar saja."

"Aku nggak mau. Tolong Rom jangan ganggu aku lagi. Apa kamu masih belum puas menyakiti aku?"

"Aku minta maaf, Nur. Maaf karena sudah meninggalkanmu, tapi kuharap kamu mau mengerti. Saat itu aku benar-benar tidak punya pilihan lain."

"Aku tidak bisa memaafkanmu. Tidak, setelah apa yang kamu lakukan padaku dan juga orang tuaku."

"Kamu tidak tahu kan, betapa malunya kami. Saat pernikahan harus tertunda karena mempelai prianya tidak ada. Kamu juga tidak tahu kan, betapa panik dan sedihnya aku memikirkan keberadaanmu. Aku bahkan hampir bunuh diri, jika tidak dicegah oleh papamu!"

Suasana mendadak hening. Romi tiba-tiba terdiam.

"Jika kamu memang benar mencintaiku, tolong biarkan aku menjalani hidup dengan tenang, Rom. Kita lanjutkan hidup kita masing-masing," ujarku lagi.

"Maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku memang egois, tapi sungguh aku benar-benar mencintaimu, Nuri."

"Aku akui yang terjadi memang karena kesalahanku. Aku pun sangat menyesali kejadian malam itu. Harusnya aku menyusulmu dan meminta maaf. Bukannya malah minum-minum."

"Sekali lagi aku minta maaf, untuk rasa sakit dan rasa malu yang kutorehkan. Besok, aku akan datang ke rumah orang tuamu dan meminta maaf pada mereka."

Aku hanya diam dan menyenderkan tubuh di belakang pintu.

"Maukah kamu memberikan satu kesempatan lagi untukku?" tanyanya lirih.

Aku tersentak. Mencoba menenangkan debaran jantung yang bertalu. Hatiku tidak bisa berbohong, cinta itu memang masih ada, meski tertutup benci.

Suami DadakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang