'Seindah apapun rencanamu, jika takdir berkata tidak. Ia hanya akan menjadi angan-angan'
Air mataku sudah tak terbendung, make up pun sudah mulai luntur. Sementara isakan dari mulut ini enggan berhenti, seolah menggambarkan betapa perih luka di hati.
Bayangkan saja, saat harusnya setengah jam yang lalu, aku sudah resmi menjadi seorang istri. Namun hingga kini, calon suamiku masih belum menampakkan diri.
Entah dimana dia berada dan apa alasannya pergi begitu saja. Aku benar-benar tidak bisa menerka. Karena kami menikah bukan atas perjodohan. Dia sendiri yang melamarku untuk menjadi istrinya. Tepat, setelah setahun kami berpacaran.
Lamaran romantis dan cinta yang menggebu, membuatku menerimanya tanpa berpikir panjang. Apalagi pria itu juga berjanji, tidak akan membatasi kegiatanku meski kami sudah menikah nanti. Jadi, aku sendiri juga tidak mengerti, mengapa dia pergi dan dengan tega mem-permalukanku begini.
Di tengah kegalauan itu, aku nekat mengambil silet dari dalam laci. Lalu, mengarahkannya ke pergelangan tangan.
"Setelah ini aku tidak akan merasakan sakit lagi," lirihku.
"Jangan!" bentak seseorang seraya menghempaskan tanganku kuat. Hingga silet itu pun terlempar dan jatuh ke lantai.
Aku berbalik dan menatapnya sendu. "Nuri, malu Om."
"Om tahu. Maafkan Om, karena telah lalai mendidik Romi," ucapnya seraya memelukku.
Di dalam pelukannya tangisku kembali pecah.
"Sabar, jangan menangis. Om tidak akan membiarkan kamu dan orang tuamu menanggung malu."
"Tapi dimana, kita akan menemukan Romi? Anak buah Om saja sampai sekarang belum bisa memberikan informasi?!"
"Ssst, tenanglah. Om akan pastikan kamu menikah hari ini. Apapun yang terjadi. Sekarang berhenti menangis. Om ingin menemui orang tuamu dulu. Ingat, jangan melakukan hal bodoh seperti tadi setelah Om pergi."
Aku mengangguk di sela-sela tangis. Mencoba percaya pada ucapannya.
***
Lima belas menit berlalu, Ibu masuk ke dalam kamar bersama dengan Mba Lani. Wajahnya sudah tidak setegang tadi, saat baru saja mengetahui kalau Romi menghilang.
"Nuri, kamu siap-siap ya. Akad sebentar lagi akan dimulai," ucapnya membuatku terkejut.
"Romi sudah datang Bu?" tanyaku antusias.
Ibu hanya tersenyum tipis, tanpa menjawab pertanyaanku. Sementara Mba Lani, mulai membenahi riasanku yang luntur karena air mata tadi.
Setelah selesai, Ibu beranjak ke arah pintu. "Ibu keluar dulu ya, untuk mengatakan bahwa kamu sudah siap. Nanti setelah ijab qabul, Ibu kesini lagi untuk menjemputmu."
"Iya Bu."
Aku duduk di tepi ranjang dengan perasaan gugup dan was-was. Mba Lani yang sepertinya mengerti, mencoba menenangkan dengan meremas tanganku lembut.
Tak lama kemudian, samar-samar aku mendengar suara seorang pria mengucap ijab qobul. Walau tak terlalu jelas, aku yakin dia menyebut namaku. Lalu, disusul dengan suara sahutan beberapa orang yang menggumamkan kata 'sah'.
"Alhamdulillah, selamat ya Nuri," ucap Mba Lani seraya memelukku.
"Iya Mba, makasih," jawabku senang.
Lega sekali rasanya, karena pernikahan akhirnya terlaksana. Walau aku merasa aneh, kenapa Romi tidak memakai mik saat mengucap ijab qabul tadi?
"Sekarang kamu sudah resmi menjadi seorang istri. Hormati dan taati suamimu," pesan Mba Lani, sepupu sekaligus perias pengantinku.
"Iya Mba. Insyaallah Nuri akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Romi," jawabku padanya.
Wajah Mba Lani tiba-tiba menegang, namun belum sempat aku bertanya kenapa, pintu kamar terbuka dan mengalihkan perhatianku.
"Nuri, ayo kita keluar. Ijab qobul sudah selesai. Waktunya menemui suamimu," ajak ibu.
"Iya Bu."
Aku keluar dari kamar, didampingi oleh Ibu dan Mba Lani.
Sepanjang jalan, aku terus menundukkan kepala, karena masih merasa malu atas tertundanya pernikahan tadi.
Setelah sampai di ruang tamu, mereka menggiringku untuk duduk di sebelah Romi, yang belum kulihat juga wajahnya sejak tadi.
"Silahkan, mempelai wanita mencium punggung tangan suaminya," ucap Pak Penghulu.
Aku pun membalikkan tubuh, berhadapan dengannya. Namun alangkah terkejutnya aku, ketika bukan Romi yang sekarang duduk di hadapan, melainkan orang lain.
Apa-apaan ini?
Lidahku mendadak kelu untuk berkata-kata dan jantung pun berdebar kencang tak beraturan.Sementara pria itu, menatapku dengan rasa bersalah yang begitu kentara.
Ingin rasanya aku pergi dan lari dari sini, tapi mendengar permintaan ibu, aku terpaksa mengurungkannya.
"Nuri, tolong ikuti prosesnya sampai selesai ya? Nanti setelah para tamu pulang, kami akan menjelaskan semuanya padamu," bisik Ibu pelan.
Aku hanya bisa mengangguk. Demi Ibu dan Bapak tak apalah bersandiwara sebentar.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Dadakan
Roman d'amourNurinda Syahila, seorang gadis berusia 19 tahun yang ditinggalkan di hari pernikahan oleh calon suaminya. Lalu, tanpa sepengetahuannya dan demi menjaga nama baik keluarga, orang tuanya menikahkannya dengan seorang pria tak terduga. Bagaimana kisah N...