Bagian 9

4.2K 135 2
                                    

"Engh, N-nuri belum siap Om," jawabku tertunduk.

Seketika suasana terasa hening. Om Hadi kembali menjauhkan dirinya dariku.

"Apa ini karena Romi?" tanyanya seraya memandangku lekat.

Aku terdiam tak tahu harus menjawab apa.

"Tadi Bibik sudah menelpone ke kantor dan mengatakan Romi pulang ke rumah. Apa terjadi sesuatu saat Om tidak ada?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Sepertinya kamu masih mencintainya. Haruskah Om melepaskanmu," lirihnya.

Kali ini jantungku berdebar lebih cepat dibandingkan tadi. Ada rasa sedih yang menyusup mendengar ucapan Om Hadi. Bahkan tanpa ku sadari, air mataku sudah menetes membasahi pipi.

"Maaf, Om tidak bermaksud membuatmu sedih," ucapnya mengusap air mataku.

"Tidak, ini bukan salah Om. Nuri hanya --"

"Sudah, jangan dipikirkan. Lupakan saja, apa yang Om katakan tadi." Om Hadi memotong perkataanku dan membawaku ke pelukannya. Hangat dan nyaman seperti biasa.

"Om marah sama Nuri?" tanyaku hati-hati.

"Tidak, tapi maaf mungkin setelah ini kita harus sedikit menjaga jarak. Om ini pria dewasa, berdekatan denganmu tanpa bisa melakukan apa-apa, tentu cukup menyiksa."

Aku tertegun. Apa yang dikatakannya memang benar.

"Sudah malam, tidurlah." Om Hadi melepaskan pelukannya lalu merebahkanku kembali ke kasur.

"Selamat malam," ucapnya lalu berbaring membelakangiku.

Apa yang sudah ku lakukan? Aku membuatnya kecewa!

***

Kring. Kring. Kring. Alaram di atas nakas berbunyi. Ku lirik sudah jam lima pagi, aku pun bergegas bangun dan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu. Di rumahku peraturan tentang shalat cukup ketat. Bahkan setelah shalat jangan mimpi bisa tidur lagi. Ibu akan mengomel tiada henti.

Setelah berwudhu dan memakai mukena. Aku menghampiri Om Hadi dan membangunkannya.

"Om bangun! Sudah subuh," ucapku seraya menggoyangkan lengannya yang tertutup baju.

"Engh, iya," sahutnya seraya membuka mata.

Sembari menunggu Om Hadi berwudhu, aku menggelar sajadah untuk kami berdua.

Seusai shalat, aku mencium punggung tangannya. Namun kali ini ada yang berbeda, dia tidak mencium keningku seperti biasanya.

Apa dia marah? Aku melirik dan memperhatikan wajahnya dengan seksama. Tampak biasa-biasa saja.

"Om Nuri tinggal ya. Mau ke dapur bantuin ibu masak," pamitku.

"Iya, pergilah," sahutnya.

***

Jam setengah tujuh pagi, kami semua pun berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Jangan heran, di rumahku sarapan memang sepagi ini.

"Nur ambilkan nasi untuk suamimu dulu," tegur ibu yang melihatku hanya mengisi piringku.

"Eh, i-iya," sahutku.

Aku mengambil piring kosong di hadapan Om Hadi lalu mengisinya dengan nasi.

"Ini, Om," ucapku menyerahkan piring tadi kepadanya.

"Iya, terimakasih."

Seusai makan, Bapak dan Om Hadi bersantai di ruang tamu. Sementara aku membantu ibu membereskan sisa sarapan tadi.

Suami DadakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang