Sesampainya di kamar, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Menutup pintu, lalu menyalakan shower dan menangis di bawah kucuran air.
Menangis memang tidak akan mengubah apapun, tapi setidaknya, ini bisa sedikit melegakan perasaanku.
Mulai sekarang, aku harus menerima, bahwa semuanya sudah berbeda. Hubunganku dengan Romi kini tak lebih dari sekedar cerita lama.
Tok. Tok. Tok.
"Nuri, kamu di dalam? Kamu baik-baik saja kan?" Terdengar suara Om Hadi, dari luar pintu kamar mandi.
Aku hanya diam meringkuk dan membenamkan wajah ke lutut. Tak ada niat untuk menjawabnya.
Tak lama kemudian, kudengar pintu terbuka, disusul suara langkah kaki yang mendekat. Aku mendongakkan kepala saat air tak lagi menghujaniku.
Mataku bertatapan dengan mata Om Hadi yang ternyata tengah bersandar di dinding menutupi tubuhku.
"Jika ini begitu menyakitkan untukmu, kamu bisa membaginya dengan Om," ucapnya, membuatku terpaku.
Setelah sekian menit terdiam dalam posisi itu. Terbersit sebuah tanya di benakku.
"Kenapa Om begitu baik pada Nuri? Om, bisa saja membiarkan Nuri hari itu, tapi kenapa Om memilih untuk menikahi Nuri?" tanyaku.
"Karena Om tidak bisa melihat hidup seorang gadis hancur karena ulah anak Om. Terlebih gadis itu sudah Om anggap seperti anak sendiri. Setidaknya begitu, sebelum akhirnya kita menikah dan ...,"
"Dan?" Aku menuntut Om Hadi melanjutkan ucapannya, tapi yang ditanya hanya tersenyum tipis.
"Sudah, sekarang berhenti main hujan-hujanannya." Om Hadi mematikan shower. Lalu, mengambil sebuah handuk dan membalutkannya ke tubuhku.
"Keringkan dirimu, setelah itu cepat ganti baju. Om tunggu di luar." Setelah mengatakan itu Om Hadi keluar dan menutup pintu.
***
Setelah selesai berganti baju, Om Hadi mengajakku untuk turun. Awalnya aku menolak, karena mengira Romi masih ada di bawah. Namun, ternyata dia sudah pergi sejak tadi.
"Kita mau ngapain sih Om ke halaman belakang?" tanyaku penasaran.
"Nanti juga kamu tahu," jawabnya misterius.
Sesampainya di sana, aku dibuat terkejut ketika melihat halaman belakang sudah disulap sedemikian rupa. Pot bunga yang ada di halaman depan sudah berpindah dan tersusun rapi di sini. Di tengahnya ada sebuah meja dan dua buah kursi yang sepertinya untuk kami.
"Ini --,"
"Iya, Om menyiapkannya untukmu. Dibantu supir dan Pak Dana. Dari pulang kuliah tadi kamu belum makan kan?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Tak menyangka Om Hadi melakukan ini untukku.
Setelah mempersilahkan aku duduk. Om Hadi menepuk tangannya. Tak lama kemudian Bik Sum dan Lala datang sembari membawa makanan.
Asap masih mengepul dari atas piring. Tanda makanan itu baru saja selesai dimasak.
"Silahkan menikmati Tuan, Nyonya," ucapnya.
"Iya, makasih ya Bik, La," ucap Mas Hadi.
"Sama-sama. Kalau begitu kami permisi."
"Iya, silahkan."
Aku mengernyit sembari memperhatikan semua makanan yang terhidang di meja. "Kok Om bisa tahu semua makanan favorit Nuri?" tanyaku heran.
"Dari orang tuamu. Kemarin Om menelpon mereka dan menanyakan beberapa hal tentangmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Dadakan
Любовные романыNurinda Syahila, seorang gadis berusia 19 tahun yang ditinggalkan di hari pernikahan oleh calon suaminya. Lalu, tanpa sepengetahuannya dan demi menjaga nama baik keluarga, orang tuanya menikahkannya dengan seorang pria tak terduga. Bagaimana kisah N...