Bagian 4

4.3K 152 1
                                    

"Tante tadi siapa Om?" tanyaku berpura-pura tidak tahu. Saat ini hanya ada kami berdua. Karena keluarga Om Hadi sudah pulang semua, sejak beberapa menit yang lalu.

"Oh, dia Tantenya Romi. Dari pihak mamanya," jawab Om Hadi.

"Emh, ada perlu apa sama Om?"

"Bukan apa-apa. Hanya ada sedikit masalah pribadi."

"Oh, gitu." Aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi, karena sepertinya Om Hadi juga tidak ada niat untuk membahasnya.

"Oh iya, tadi selama Om pergi, keluarga Om tidak ada yang bersikap buruk kan padamu?"

"Nggak ada kok Om. Mereka semua baik."

"Syukurlah."

"Memangnya, sebelumnya apa yang Om katakan pada mereka?" tanyaku penasaran.

"Om menceritakan semua yang terjadi. Lengkap tanpa ada yang ditutup-tutupi. Agar mereka mengerti dan tidak bertanya apa-apa lagi padamu."

"Emh, gitu."

***

Keesokan paginya, setelah mandi, aku langsung bersiap-siap untuk pergi. Aku ada janji dengan Ria dan Aya hari ini.

"Mau kemana Nur?" tanya Om Hadi yang melihatku sudah rapi.

"Nuri mau ke kampus Om. Kan cuti kuliah Nuri sudah habis," jawabku.

"Kamu yakin mau kuliah di kampus yang lama? Apa tidak sebaiknya pindah saja?"

"Enggak usahlah Om. Soalnya Nuri sudah nyaman dengan teman-teman dan lingkungan yang sekarang."

"Oke, kalau begitu ayo kita sarapan dulu. Setelah itu Om antar kamu ke kampus."

"Iya, Om."

***

Om Hadi menghentikan mobilnya di depan gerbang kampusku.

Dari jendela mobil, aku bisa melihat Ria dan Aya sudah menunggu di tempat biasa.

"Nuri pamit ya Om," ucapku sembari melepaskan seatbelt.

"Iya, ini untukmu," jawabnya seraya menyodorkan sebuah kartu Atm.

"Eh, enggak usah Om. Nuri punya uang sendiri kok," tolakku halus.

"Itu kamu simpan saja. Mulai sekarang pakai ini untuk membeli semua kebutuhanmu," ucapnya bersikeras menyodorkan kartu itu padaku.

"Baiklah, kalau begitu makasih Om."

"Iya, sama-sama."

Aku mencium punggung tangannya, sebelum keluar dari mobil.

***

Setelah mobil Om Hadi berlalu, aku bergegas menghampiri Ria dan Aya.
"Hey, aku kangen!" seruku pada mereka.

"Sama, kami juga!" sahut mereka bersamaan sembari memelukku.

"Akhirnya kamu kuliah juga, sepi tahu kalau nggak ada kamu," ucap Aya.

"Iya, rasanya gimana gitu, kalau kita cuma berdua aja," timpal Ria.

Kami bertiga memang terbiasa selalu bersama sejak SMA.

"Ya sudah, sekarang kita ke kantin yuk! Aku sudah kangen banget nih sama baksonya Pakle gendut," ajakku semangat.

"Yuk!" sahut mereka bersamaan.

Sesampainya di kantin, tak sengaja aku mendengar beberapa orang tengah membicarakanku.

"Nggak nyangka ya, demi jadi istri orang kaya. Papanya pun diembat juga," ucap Sisil yang aku yakin bertujuan menyindirku.

"Iya, jangan-jangan selama ini dia macarin anaknya cuma sebagai batu lompatan aja lagi, buat dapetin papanya," sahut Agni tak kalah pedasnya.

Aku mengepalkan tangan kuat. Geram dengan ucapan mereka yang sama sekali tak benar.

Dengan pasti kulangkahkan kaki menghampiri mereka.

"Jangan sembarangan kalau bicara!" ucapku seraya menggebrak meja.

"Apa sih, datang-datang bikin ribut!" Sisil memandangku sengit.

"Hu'um. Pantas ditinggalin, sikapnya aja kayak gini," sahut Agni menambahi.

"Heh, kalau nggak tahu kejadian yang sebenarnya, mending kalian diam saja! Nggak usah banyak bicara!"

"Kenapa? Kamu nggak terima? Lagipula yang kita omongin memang benar kan? Kamu pacaran sama anaknya, terus nikah sama papanya," tantang Sisil sembari mendorong tubuhku.

Aku yang tersulut emosi pun, balas mendorongnya. Kami hampir saja berkelahi jika tidak segera dilerai oleh Ria dan Aya.

"Udah Nur, nggak usah diladenin. Nanti kamu malah dapat masalah," ucap Aya menenangkanku.

"Iya Nur, mending kita pergi aja yuk!" ajak Ria.

***

"Aku kira teman-teman kita belum banyak yang tahu. Ternyata sudah tersebar ya," ucapku sedih seraya menyandarkan kepala ke bangku taman.

"Maaf ya, Nur. Aku sama Ria sebenarnya sudah berusaha supaya gosip ini nggak menyebar, tapi kamu tahu sendiri kan, susah untuk menutup mulut kayak Sisil dan Agni," sahut Aya.

"Iya nggak apa-apa. Aku tahu lambat laun mereka juga pasti akan tahu kok. Hanya saja, aku nggak nyangka akan secepat ini. Kalau begini, apa sebaiknya aku pindah kuliah aja ya?"

"Eh, jangan Nur. Aku nggak mau pisah sama kamu," sergah Aya.

"Iya aku juga," timpal Ria.

"Tapi aku gak betah, kalau keadaannya kayak gini terus."

"Kamu sabar dulu ya. Aku yakin lama-kelamaan mereka juga bakalan lupa kok sama kejadian ini," bujuk Aya, yang kujawab dengan anggukan lemah.

***

Sepulang kuliah, aku langsung bergegas naik ke lantai dua. Mengabaikan tatapan bingung dari Bik Sum yang baru saja membukakan pintu. Moodku benar-benar berantakan hari ini.

Setelah meletakkan tas dengan asal, aku merebahkan tubuh ke kasur. Ingatanku seketika melayang ke beberapa bulan yang lalu. Saat hubunganku dan Romi masih baik-baik saja.

Waktu itu, kami bahkan sudah merancang rencana bulan madu dan masa depan kami nantinya. Namun kini, itu semua hanya tinggal kenangan yang tidak akan pernah terwujud.

Aku membenamkan wajah ke bantal, agar isakan tak terdengar sampai keluar. "Hiks, hiks, hiks."

"Kenapa kamu tega melakukan ini sama aku Rom? Apa salahku sama kamu?" lirihku sembari memukul-mukul bantal. Kesal!

Tak berapa lama, tiba-tiba, aku merasa ranjang bergerak. Lalu sebuah tangan mengelus rambutku dari belakang.

Aku berbalik dan melihat Om Hadi tengah memandangku dengan tatapan teduh. Matanya, seolah mengatakan bahwa dia akan selalu ada untukku.

Aku langsung bangun dan menghambur ke pelukannya. Tangisku kembali pecah.

"Ssst, sudah jangan menangis lagi," ucapnya lembut seraya menepuk-nepuk punggungku pelan.

Aku merasa dejavu dengan keadaan ini. Waktu itu, saat Romi meninggalkanku, dia juga memelukku seperti ini.

Beberapa menit setelah tangisku reda. Om Hadi melonggarkan pelukan kami dan merebahkanku kembali ke kasur.

Perlahan tangannya menyingkirkan anak rambut yang menempel di pipiku, lalu menghapus jejak air mataku dengan ibu jarinya.

Rasanya aku belum pernah diperlakukan selembut ini oleh siapa pun. Aku mulai memejamkan mata, saat wajah Om Hadi mulai mendekat dan perlahan hidung kami pun saling bersentuhan.

Namun itu tak lama, karena aku kembali membuka mata dan reflek mendorong Om Hadi menjauh dariku, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu.

"Tuan, Tuan!"

Bersambung....

Suami DadakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang