Part 7

2.2K 330 15
                                    

Simon menghentikan makannya, "Tuli?" You mean deaf? Adik-adikmu dua-dunya tuli?"

"Yup. Dari lahir."

"Ooo", sahut Simon pendek.

"STOP ... don't give me that look. You know ... aduh-kesian-look.", komentar Livi pedas.   "Adik-adik gue bahagia kok. They're smart, pretty, independent. Adik cewek gue Lisbeth, sekarang lagi di Australia ambil fashion designer. Tadinya kuliah di Lim Kok Wing Malaysia. Liona sekarang masih SMA. Dia suka gambar. Mungkin mau ambil graphic design. Adik-adik gue ga perlu dikasihani."

"I didn't say anything",

"You didn't say it ... but yah your face showed it all", kata Livi pahit. "Nevermind. I've used to it. I just hate it. I hate it when people say that anak difabel itu kasian."

"Mereka ga perlu dikasihani?", Simon mencoba mengerti Livi lebih jauh. Ada sesuatu dalam gadis ini yang menarik untuk dirinya.

"Ga. Mereka itu ... punya sesuatu yang orang-orang normal ga punya. Mereka polos, punya hati. Jujur. Apa adanya. Ga munafik", suara Livi sedikit bergetar.

"Lalu apa hubungannya dengan menikah?"

Livi menatap Simon dengan tidak sabar, "Don't you get it?! Dua adikku tuli. Dua. Genetic. I'm not but maybe I'm the carrier. Trus loe jawab deh, calon mertua CHINESE kalau denger gue bilang 'Hi Tante, saya Livi. Adik saya dua-duanya tuli. Jadi besar kemungkinan cucu tante nanti tuli juga loh. Tante ga papa kan?'" Livi memperagakan dirinya seolah bicara dengan orang lain.

"Kira-kira tuh camer bakal bilang apa? 'Ooo ga papa Livi cepet aja menikah sama anak tante' GITU??? Kagak lahhh. Pasti langsung disuruh putus"

Simon tidak mengatakan sepatah katapun.

"Yang gue paling bingung ya, itu nyokap gue. Mertuanya aka nyokap bokap gue, benci banget sama nyokap gue", ada nada pahit dan amarah dari suara Livi. "Nyokap gue sering diomelin. Dibilang istri bawa sial. Anak udah perempuan semua, cacat lagi. Dan kata-kata menyakitkan lainnya. Tapi nyokap gue tetep aja hormat sama mertuanya. Tetep aja suruh gue married sama org chinese. Gue mah udah lihat, ga bakal. Ga bakal gue mau diinjek-injek kayak nyokap gue"

Simon diam. Ia tahu di kalangan Chinese, anak difabel sering kali dianggap sebagai beban. Amit-amit yi el san. Tapi mendengar langsung penuturan dari keluarga anak difabel membawa sesuatu yang berbeda. "Ga semua begitu kan ... pasti ada yang baik", Simon mencoba menetralkan.

"Dulu gue pikir juga begitu. Gue dulu sempet pacaran sama temen gereja. Keluarga dia kenal sama keluarga gue. Tinggal ga jauh. Udah pacaran lama. Menjelang gue lulus, gue pikir bakal dilamar", Livi mendengus, "Ternyata malah mantan gue cerita nyokapnya takut ... takut kalau nanti married sama gue, dede-dede gue bakal merongrong pernikahan kita. Mintain duit lah. Gue marah besar. Besoknya gue putusin"

"Loe putusin?"

"IYA lahh. Gila kali. Gue ga butuh cowok yang ga bisa terima keluarga gue"

"Jadi kamu mau bikin sekolah SLB itu? Yang kemarin kertasnya di atas meja."

"Ya. Bukan cuman sekolah. Tapi juga asrama dan panti asuhan". Jawab Livi mantap.

"Wow"

"Loe tau ga, banyak yang begitu ortunya tau anaknya tuli langsung dibuang. Suami istri cerai. Mamanya kabur sama orang lain. Suaminya menikah lagi. All those heartbroken story.", mata Livi berkaca-kaca, "Anak-anak ini ga minta dilahirkan. I want them to know that they're precious"

"You have a good heart"

"No. I owe my life to them. Habis putus gue udah kayak orang stress. Trus Liona suruh gue bantuin komisi anak-anak difabel di gereja gue. Dari mereka gue belajar. Ga ada yang terlalu sulit kok dari hidup ini. Semua bisa dihadapin. Setelah beberapa bulan, gue bilang sama bokap. Gue mau bikin sekolah. Bokap setuju. Makanya gue ke US ambil master"

The Rich Girlfriend (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang