38

3.4K 300 18
                                    

Putri POV

Sambil menunggu dengan gelisah aku terus-menerus mondar-mandir di dalam kamar. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.15, tapi sampai saat ini Jungkook belum kembali juga. Aku duduk di tepi ranjang, tapi tetap saja aku tidak bisa tenang. Aku sudah begitu lama di sini, tapi yang ditunggu-tunggu seolah-olah sengaja tak ingin menampakkan wajahnya.

Ke mana Jungkook sebenarnya? Apakah dia sengaja melakukan ini untuk mempermainkanku?

Dari beberapa jam yang lalu rasanya aku sudah sangat ingin cepat-cepat kembali ke Bogor, tapi orangtua Jungkook terus membuatku sibuk menyuruhku ini dan itu. Bahkan sudah berbagai alasan kubuat agar aku bisa keluar dari rumah ini, tapi mereka benar-benar pandai menahanku untuk tidak pergi.

"Putri, kau baik-baik saja?"

Begitu aku mendengar pintu dibuka dan disusul oleh suara Jungkook, aku langsung menoleh cepat dan berdiri. Aku benar-benar geram karena Jungkook baru saja datang setelah aku menunggunya seharian.

"Tentu aku tidak baik-baik saja," tandasku langsung. "Aku ingin pulang sekarang," kataku menyambar tasku di atas meja nakas.

"Mau pulang ke mana? Ini juga rumah kita."

Langkah kakiku berhenti, aku semakin menatapnya geram. "Jungkook, jangan berani-beraninya kau mempermainkanku," ucapku.

"Siapa yang mempermainkanmu?" katanya datar. Seolah ia tak senang atas tuduhanku.

"Tentu saja kau. Aku sudah menunggumu di Kantor Pengadilan dan kau tak hadir di sana. Kau menyuruhku kemari padahal kau sendiri entah pergi ke mana. Aku menunggumu berjam-jam dan kau baru datang sekarang. Apa yang sebenarnya kau inginkan, hah?" suaraku meninggi, tapi aku tidak peduli. Aku pantas meneriakinya setelah berjam-jam aku dipermainkan.

Jungkook tak langsung membalasku, melainkan ia menarik napas. Lalu melangkah ke arahku dan berhenti tepat di hadapanku. "Aku hanya menginginkanmu."

Kemarahan di dadaku semakin membuncah begitu mendengar jawabannya yang memuakkan. Sampai-sampai rasanya aku ingin tertawa. Dan ya, aku memang tertawa. "Jangan mengada-ada," kataku, bersamaan dengan tawaku yang berangsur memudar. Aku menghunjamkan tatapan paling tajam. "Bukankah sudah kuperingatkan, kita harus bercerai." Aku menekan setiap kata-kataku. Memberitahunya bahwa ia diperingatkan untuk tidak membantah.

"Aku tidak akan menceraikanmu," katanya menantang.

"Kau harus," ancamku lagi. "Karena meskipun kau tak menceraikanku, aku tidak akan pernah lagi kembali bersamamu. Kau pria yang tak punya pendirian. Lagi pula mana mungkin jalang sepertiku masih pantas untukmu." Aku sengaja mengungkit kejadian tahun lalu, dan tidak peduli kalau jawabanku menyakitkan hatinya. Karena sebenarnya akulah yang sakit hati.

Jungkook tak langsung membalasku. Matanya memejam. Begitu membuka lagi, ia menghela napas dalam mencoba untuk lebih tenang. "Putri, bisakah kita menutup buku lama. Tolong, jangan ungkit lagi yang sudah terjadi. Apa kau tak bisa memaafkanku?" suaranya begitu pelan. Ia seolah tahu kalau suranya sedikit saja lebih tinggi dari suaraku, maka aku akan langsung membalasnya. Tapi aku akan tetap membalasnya.

"Maaf?" Aku tersenyum mencibir. "Begitu mudahnya kau meminta maaf. Kalau hatiku masih sakit, kalau otakku belum bisa melupakan apa yang telah kau lakukan padaku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Jungkook maju satu langkah lagi. Suaranya terdengar serak. "Lalu bagaimana dengan hatiku?" tanyanya, menatapku tanpa gentar.

Aku diam. Tidak peduli dan tidak mau tahu tentangnya.

Jungkook mengangkat sebelah tangan yang ia tempelkan ke dadanya, lalu jari telunjuknya menunjuk jantungnya. "Hatiku juga sakit. Aku sangat menderita. Aku tidak memintamu lagi untuk memaafkanku, karena aku sendiri pun tak bisa memaafkan diriku sendiri." Mata Jungkook memerah mencoba menahan air matanya untuk tidak tumpah. Tapi ia gagal melakukannya. Karena air mata itu sudah mengalir di wajahnya. "Putri, aku hanya ingin kau memberiku kesempatan sekali lagi untuk aku bisa memperbaiki semua kesalahanku."

Aku menggeleng, entah kenapa air mataku juga tiba-tiba mengalir. Tapi aku tetap keras kepala. "Tidak. Cukup dengan semuanya. Sebaiknya mulai dari sekarang kita bina hidup kita masing-masing."

Jungkook terdiam mendengar pernyataanku. Matanya menyiratkan sorot kekesalan, bukan, tapi matanya menyiratkan kesakitan mendalam. "Apakah tak ada sedikitpun lagi ruang di hatimu untukku?" Jungkook masih berusaha membujuk.

"Hatiku sudah tertutup untukmu." Aku menahan kedua bahuku supaya tak bergetar.

"Putri, semua orang berbuat kesalahan."

"Dan kesalahanmu tak termaafkan," balasku. "Tolong, sebaiknya kita harus segera mengakhiri semua ini."

Jungkook memejamkan mata lagi, dan kali ini ia lebih lama melakukannya, seperti memikirkan sesuatu di kepalanya. Begitu membuka mata ia menatapku lekat-lekat. "Baik, tapi dengan satu syarat," ucapnya.

"Syarat apa lagi?" kataku dengan nada yang lebih tinggi, merasa tak senang.

"Tolong, tinggallah di sini sampai pernikahan Yan selesai."

"Tidak," kataku langsung menolak.

"Hanya satu minggu," ucapnya. "Tolong lakukan ini untuk kedua orangtuaku. Mereka terlalu berharap kau ada di sini sebagai menantu. Yan juga sangat mengharapkanmu hadir di pernikahannya."

Mendengar Jungkook yang meminta penuh harap membuatku kemudian berpikir lama. Aku mengingat perlakuan mertuaku yang selalu baik padaku. Apalagi ibu Jungkook yang dari dulu penuh perhatian dan kasih sayang. Sedangkan Yan, dulu ia juga sering bercerita denganku dan ia sangat mengharapkanku di sini. Bagaimana seandainya aku menolak?

"Tidak," kataku tersentak begitu teringat Jasmine. Jasmine selalu bersamaku dan aku tidak pernah berpisah dengannya sebelum-sebelumnya. Dia selalu tidur bersamaku. Apakah dia sudah tidur sekarang? Bisakah ia tidur nyenyak?

"Aku harus pulang. Jasmine membutuhkanku," kataku lagi.

"Sekarang sudah malam. Besok Umi Ulfa akan menghadiri sebuah pesta di Jakarta dan Umi akan membawa Jasmime kemari."

"Apa?" Aku memandang Jungkook tak percaya. "Apa kau sengaja merencanakan semua ini?"

Jungkook hanya menganggukkan kepala. Tidak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutnya. Jadi aku juga tidak berkeinginan untuk berdebat lagi dengannya.

"Baiklah," kataku akhirnya. "Aku akan melakukan ini semua untuk kedua orangtuamu dan adikmu. Tapi aku juga memiliki syaarat."

"Syarat apa?" Jungkook langsung mengangkat wajah.

"Aku tidak ingin tidur sekamar denganmu."

Jungkook hanya mengangguk. "Baik."

Tbc

Hanya Dirimu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang