Malaikat tak hanya ada di Surga Part 16

29 12 0
                                    


*************************************

2 minggu kemudian di Singapore

Tidak terasa sudah memasuki 14 hari gue di sini bersama Dhini dalam menjaga kestabilan fisik papi di rumah sakit.

"Dhin, besok gue balik ke Jakarta sebentar ya." ucap gue.

"Loh, bukannya masih 2 minggu lagi mbak operasinya, apa nggak terlalu cepat loe jemput Mas Andre?"

Dhini bertanya sambil sibuk menata dan mengganti bunga dalam vas di atas meja dekat jendela.

"Ya nggak dong Dhin, justru kalau terlalu mepet waktunya, malah jadi tergesa-gesa dan nanti malah nggak baik hasilnya."

Gue menjelaskan sambil menyeka membersihkan tubuh papi dengan kain dan air hangat.

"Baiklah kalau menurut mbak itu yang terbaik" Dhini menyetujuinya.

"Sip, kalau ada apa-apa loe call ya?" lanjut gue.

"Siap, kakak gue yang bawel tapi cantik."

Dhini menegaskan kalau dia siap sedia juga untuk yang terbaik dalam hal ini.

"Oh iya, nanti siang kita mau makan apa ya enaknya Dhin?" tanya gue.

"Hmm, gue lagi ngidam sushi nih mbak, gimana?"

Dhini menjawab sambil memasang raut wajah imut dengan mata berkaca-kaca, berharap bisa makan sesuai dengan keinginannya.

"Sushi ya? boleh juga sih, ya sudah nanti kita perginya setelah dokter selesai check up papi ya?" jawab gue setuju.

"Asyik.. loe memang the best always mbak"

"Muachh..."

Dhini kegirangan dan berlari kecil menghampiri, lalu mencium pipi gue.

"Aihh, bau asem loe Dhin.. sana mandi dulu.. jorok"

Gue menyuruh Dhini untuk mandi karena memang dalam urusan mandi dia selalu malas. Apalagi kalau nggak ada yang ingatkan, pastilah dia bakal mandi cuma sekali dalam sehari. Tapi sekali mandi, lamanya itu benar-benar minta ampun, bisa 1 jam ada di dalam kamar mandi. Entah ngapain saja waktu mandi.

"Heleh, meledek terus loe mbak, biarin asem.. yang penting banyak yang naksir"

Dhini membantah perintah gue dengan candaan. Sebetulnya itu bukan candaan sih. Soalnya menurut gue, banyak juga lelaki bertekuk lutut memohon cintanya. Tapi bukanlah Dhini namanya jika bisa dengan mudah di taklukkan. Watak keras kepalanya itu menjadi benteng pertahanan yang kuat dalam berprinsip dan tidak mudah goyah.

"Buruan sana, nggak usah banyak alasan, atau nanti gue batalin buat makan sushi lho" ancam gue.

"Duh, janganlah mbak.. oke gue mandi..hufth"

Akhirnya Dhini menyerah dan lansung mengambil tas kecil perlengkapan mandinya, lalu bergegas menuju kamar mandi.

"Hahaha, dasar..."

Gue bergumam dalam pikiran, merasa lucu saja. Dhini sudah dewasa, masih saja kalah kalau sudah di ancam soal makanan. Benar-benar pecinta kuliner.

Hp gue bergetar, karena memang di atur pada mode silent, supaya tidak terlalu mengganggu suara nada dering atau notifikasinya.

Ternyata itu chat dari pangeran di seberang sana, mas Andre.

"Apa kabar mbak? semuanya sehatkan pagi ini?"

Gue lalu mulai mengetik dan membalasnya,

" Iya mas, kita disini sehat selalu kok. Loe sendiri gimana?"

Malaikat tak hanya ada di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang