"tidak perlu disuapi, unnie, aku bisa makan sendiri.. lagipula aku tidak lapar.." ia mundur sedikit, bersandar pada kepala ranjang.
Tidak, Hyunjung tetap bersikeras, nasi dalam sendok ditiupnya lagi.
"diam dan makan saja. Kalau tidak begini kau tidak akan makan kan? Kau kan tidak bisa merasakan lapar, kau harus sembuh!"
"astaga, ibuku saja tidak memaksa begini,"
Helaan nafas keluar berat. Hyunjung menggeleng.
"setidaknya hargailah ibumu yang sudah memasak ini untukmu, kumohon, makanlah.." ucapnya lemah.
Merah, mengalir hangat. Lagi, dari hidungnya.
Namun kali ini, si gadis yang lebih tua dapat lebih tenang untuk mengambil handuk kecil pada meja kecil -mengusap cairan merah dari hidung Jiyeon.
Ia telah terbiasa.
"baiklah.. aku akan makan."
_______
Berapa kali ponsel dikeluarkan dari dalam saku, kemudian dimasukkan kembali setelah melihat tidak ada nama yang diinginkannya tertera dilayar. Lesu.
Buku ditutup, gadis muda Kim sadar akan apa yang dirasakan oleh gadis yang duduk dihadapannya - yang sedari tadi bahkan tidak menyentuh fettucine-nya diatas meja.
"dia.. masih belum mengabarimu?" tanyanya ragu.
Hyunjung mengangguk lemah, "hari ini, tepat dua bulan.."
Kelu. Tangannya terulur untuk mengusap pundak Hyunjung. Lembut, perlahan. Mungkin hanya itu yang saat ini ada di pikiran Jiyeon.
"aku rasa dia benar-benar sudah melupakanku,"
"tidak, unnie, mungkin dia sedang ada masalah.. bersabarlah.. nanti kita cari tau sama-sama, mau kudatangi rumahnya?"
Menggelengkan kepala.
"tidak perlu, tapi, terimakasih.."
_______
Dalam ruang kelas yang sepi, dua orang gadis duduk pada kursi bersebelahan. Diluar sana hujan masih mengguyur deras -setengah jam bertahan seperti ini. Salah satunya masih asyik dengan keisengannya, coretan spidol pada kertas yang hampir penuh.
Bukan sekedar coretan, akhir-akhir ini lettering membuatnya tertarik untuk belajar -meski hanya dari internet.
"kapan sih aku bisa punya tangan sepertimu..?"
"memang kenapa, tanganku?"
Gadis Kim yang lebih tua, mengangguk, kemudian meletakkan spidol dari tangannya untuk menggenggam pasang tangan Jiyeon di kursi sebelahnya, "ini.. tangan ini, berharga sekali, kau tau!" membuat keduanya bertatapan.
"eyy.. kalau cuma menggambar, semua orang bisa melakukannya, unnie.."
"tidak, tidak, tuh kan kau mulai lagi!"
Jiyeon mengerutkan alis, "mulai apa?"
"itu! Sifat negative thinking-mu! sulit sekali dihilangkan -coba sekali-sekali anggaplah dirimu berharga.."
"sudah kubilang, sulit.."
"ya aku tau, tapi bukan berarti tidak bisa, kan? Coba sedikit-sedikit, puji dirimu didepan cermin, misalnya?"
Kalimat ini bukan kali pertama Hyunjung mengatakan pada si gadis -menghela nafas berat, "iya, iya.. aku coba lagi nanti."
_______
"Tebak apa yang terjadi kemarin malam?" gadis yang lebih tua darinya itu menghambur ke ruang kelasnya, seperti biasanya. Namun kali ini senyumnya lebih cerah, entah cerita apalagi yang akan disampaikannya.
"Apa?" jawabnya pelan, bersiap, entah untuk apa.
"Kau tau anak laki-laki kelas sebelas yang waktu itu mendekatiku?" Jiyeon mengangguk malas, soal anak lelaki lagi. Belum cukup baginya diberi harapan palsu, rupanya.
"Dia memberikanku bunga mawar!"
Jiyeon tersenyum kecut. Ah, ia bersiap untuk ini.
"Tapi kau tau caranya? Dia hanya bilang coba lihat ke teras di depan rumahmu, dan ternyata dia mengirimkanku bunga dan surat! Kau mau lihat suratnya? Sudah kufoto tadi malam, tentu saja aku tidak membawanya kesini, nanti bisa-bisa terlipat.."
"Ah begitukah? Wah dia romantis juga ya! Cukup pintar, dia bisa tau kalau unnie senang jika diberi kejutan seperti itu,"
"Entahlah, padahal aku tidak bilang apapun padanya, tapi dia tau begitu saja.. lihat ini suratnya.."
Senyum itu, Hyunjung menunjukan layar ponselnya pada Jiyeon. Dan melihat Hyunjung merasa senang seperti ini, rasanya tidak ada yang bisa dikatakan Jiyeon.
________
Pekat malam dingin hingga sedikit embun menempel pada tiap-tiap kaca di jendela. Dalam selimutnya, si gadis meringkuk nyaman -hampir saja tenggelam dalam tidur lelapnya jika ponselnya diatas meja tidak bergetar tiba-tiba, membangunkanya.
Satu kali, panggilan itu mati sebelum sempat diangkat. Gadis Kim yang lebih tua, hendak kembali pada kasurnya yang nyaman namun benda itu berdering lagi.
Nama si gadis yang lebih muda tertera di layar, Hyunjung segera mengangkat panggilannya.
"ya, halo.."
"h-halo.. u-unnie..." diseberang sana suaranya terdengar terbata.
Dia menangis?
"hey -kenapa?? Kau menangis?"
"aku boleh menginap disana? m-malam ini saja.."
"kau akan kesini -semalam ini?" ia melirik jam pada dinding, pukul sebelas, "iya boleh, tapi jelaskan dulu.. ada apa?"
Ah, bukannya menjelaskan, si gadis diseberang telepon malah menangis sesegukan.
Hyunjung beranjak dari tempatnya, mengambil jaket yang digantung dibalik pintu, "baik, baiklah, aku jemput ya? Kau dimana sekarang?"
"a-aku sudah didepan rumahmu.. tolong bukakan pintunya,"
________
To be continued
Coffeeganger
2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Twilight | WJSN ✔
Fanfictioncoffeeganger™ ©2020 Short Stories [Story 01: Kim Bona x Kim Seola] [Story 02: Son Eunseo x Kim Seola] [Story 03: Son Eunseo x Lee Luda] [Story 04: Lee Luda x Kim Bona] ⚠️Warn: gxg Area⚠️