Bab 8 : Nyawa dan darah

38 4 0
                                    

  Aku masih memikirkan isi surat itu. Yang tak pernah bisa kulupakan sampai saat ini. Saat itu sekolahku begitu menyeramkan, bahkan warga sekitaran sekolah asramaku pernah berbicara kalau ada iblis yang menghuni sekolahku.

  Beberapa temanku menjadi paranoid. Yang tak lain adalah ketakutan yang menjalar di setiap saat. Sebenarnya, aku penasaran dengan pembunuh itu. Yang kalau kukira kira, dia adalah pembunuh kelas dunia. Namun, hati kecilku selalu berkata :

  "Kau yakin kalau kau tak takut padanya? Kamu beneran yakin? Serius? Demi apa kamu? Ketemu kuntilanak aja udah ngibrit. Apalagi si pembunuh itu?"

  Yap, aku masih saja dihantui rasa penasaran. Namun, aku juga lupa apa risiko yang akan kuhadapi. Mungkin, anak sekecil diriku tak mungkin untuk menjadi detektif. Apalagi misi nya yang terbilang sulit, yaitu menemukan pembunuh yang tidak disertai jejak atau pun sidik jari. Tapi, rasa penasaran membakar di seluruh tubuhku. Terkadang, aku bisa berbuat nekat tanpa bantuan orang lain.

  Beberapa menit aku terdiam. Masih dalam keadaan yang sama, yaitu memikirkan sang 'Pembunuh Kelas Dunia' itu. Dia sangat hebat. Tak memiliki sidik jari atau pun jejak. Bahkan seorang detektif kelas papan atas saja mungkin tak akan bisa menangkapnya. Gumamku.

  Keadaan masih sama, banyak temanku yang tak berbicara. Bukan! Bukan bisu maksudku! Pikiran mereka masih diiringi kejadian semalam, sehingga mereka tak berani mengatakan sepatah kata pun. Sisanya mencoret coret buku tulis bagian belakang, membaca buku, menggambar, dan hal lainnya. Namun tidak denganku, Vanya, Andre, dan Elco.

  Kami mendapatkan tempat duduk di belakang, lebih tepatnya satu meja berbentuk lingkaran dengan empat kursi yang tinggi nya sesuai dengan tinggi tubuh kami. Bahkan lebih.

  Jadi, kami bisa berbincang dengan leluasa. Apalagi, topik utamanya adalah tentang si pembunuh kelas dunia itu.

  "Pembunuh itu bener bener keren. Sumpah demi apa pun loh. Bunuh orang modalnya cuma kertas sama tinta warna merah atau darah ni bingung aing teh" ujar Elco sembari mengeluh karena mood nya sedang di ujung tanduk, alias menentukan antara baik dan tidak.

  "Sia mah bisana putus asa wae! Usaha atuh. Kan kami teh opatan jelmana. Aya urang, Andre jeung si Vanya. Ulah sieun deui atuh" balasku.

  "Udah udah! Jangan ribut melulu. Nanti yang ada pembunuhnya bunuh kalian" ucap Vanya

  "Iya iya," jawab aku dan Elco secara bersamaan.

  Pikiran kami kembali sibuk berkelana tentang pembunuh kelas dunia itu. Yang aku bingungkan sebenarnya bukan maksud dia membunuh. Tapi siapa dia yang sebenarnya.

  Apakah hantu yang pernah di ceritakan oleh kak Renee atau manusia yang dendam dengan sekolah ini? Hah, rasanya otakku ingin meledak sekarang juga. Karena pembunuh itu selalu membuatku bergidik ngeri.

Ding dong ding dong... Ding dong ding dong... Waktu nya istirahat... Ding dong ding dong... (suara bel sekolah)

  "Udah bel. Ngantin yuk!" ajak Andre.

  "Hoi... Keviraa? Keviraa? KEVIRA ALEXANDER!" teriak Andre dengan sangat kencang, bahkan sampai terngiang di telingaku.

  "APA?! Kenapa?!" tanyaku kelabakan.

  "Ngalamun wae. Ngalamunan naon maneh teh?" tanya Elco.

  "Si pembunuh kali Co"-Vanya

  "Yuk lah ke kantin! Daripada diem diem aja kek ga ada semangat hidup kan?" ujar Andre dengan sangat bersemangat.

  "Iya iya"

Ghost DormitoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang