#JERAT_PESUGIHAN
#Part_1Kresno--seorang bujang yang usianya sudah matang--hampir busuk malah. Keseharian bujang lapuk itu hanya menunggu seseorang memberi pekerjaan padanya. Kuli panggul, pacul, tandur apapun itu dia lakoni sebagai aktivitas penyambung hidup.
Maklum, di usia yang hampir kepala empat, dirinya belum juga mendapat jodoh kendati telah melamar ke sana kemari pada beberapa gadis pujaanya. Itu alasan yang menjadikan bujang tersebut lebih sibuk bekerja dari pada di rumah tanpa permaisuri yang menjadi tambatan hati. Membosankan, pikirnya.
Hidup Kresno miskin. Orang tuanya hanya seorang buruh tani. Sama seperti dirinya. Pendidikan formal, Kresno hanya mengenyam bangku SD, pun tidak sampai lulus.
Matahari belum meninggi, kala bujangan itu menyibukkan diri. Di tangannya memegang palu yang siap memukul paku pada setiap bagian kayu yang hendak dirangkai menjadi kandang ayam.
Keringat mengucur dari pelipis, turun membasahi janggut dan lehernya. Dahaga mulai membuat tenggorokannya tercekat, terasa kering.
"Bu, wedangku ndi (air minumku mana)?" teriaknya setelah tak mendapati apa-apa di atas meja sebagai selingan kala lelah menyapa.
"Yo, sik!" jawab ibunya dari dalam rumah.
Kresno menggeleng, dalam batin 'sudah lama aku menggarap kandang, air putih saja tidak disediakan.' lalu, tangannya kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Detaik kemudian, seorang wanita tua berumur 70 tahun tertatih menghampiri Kresno, di tangannya sebuah gelas plastik berukuran jumbo berisi air putih segera ia letakan di samping Kresno.
Kresno meraih gelas jumbo itu dan meminum beberapa teguk air putih yang baru tersedia.
"Aah."
Merasa segar dengan air yang mengguyur kerongkongan, ia kembali melanjutkan pekerjaannya."Kapan dadine (Kapan jadinya), No?" tanya ibunya.
"Paling sesok, Bu."
Wanita itu hanya mengangguk, lalu kembali masuk untuk ... entah melakukan kesibukan apa.
Beberapa menit berlalu, bujang lapuk itu masih saja sibuk dengan pekerjaan yang belum bisa dipastikan kapan jadi kandang garapannya.
Di sela-sela kesibukan Kreano, seorang pria paruh baya menghampiri. Tubuhnya gempal, pakaiannya rapi, khas orang-orang penting pedesaan. Pria itu lantas menyalami Kresno.
"Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam. Eh, Pak Mandor. Ada perlu apa? Maaf ini ... berantakan." Dengan canggung Kresno menghentikan aktivitas saat tahu Mandor itu datang.
Tampak akrab Mandor Gatot tersenyum seraya mengulurkan tangan ke arah Kresno. Kresno lantas menjabat tangan sang Mandor, kemudian mengajak duduk pada kursi rotan reyot yang sengaja diletakan di teras rumah.
"Mohon maaf, Ndor. Silahkan ...."
"Santai saja." Mandor Gatot meletakkan pantatnya tanpa rasa risih, "begini, No. Sesok melu aku macul nggon Darmin, yo (Besok ikut aku mencangkul di tempat Darmin, ya)?" Mandor Gatot menepuk-nepuk bahu Kresno, berharap bujang lapuk itu mau menerima tawarannya.
"Aku sibuk gawe iki ... masalahe, Ndor. Koyoke gak iso yen sesok (aku sibuk bikin ini ... soalnya, Ndor. Sepertinya tidak bisa kalo besok)." Kresno menunjukan kandang ayam yang belum tersusun sempurna pada Mandor Gatot.
Sejenak Mandor Gatot melirik kandang itu, "Terus, isomu kapan (bisamu kapan)?" Mencoba memastikan kesanggupan Kresno.
Dalam hati sang Mandor, tidak bisa jika menggantikan posisi Kresno dengan orang lain. Sebab, Kresno termasuk kuli yang rajin dan cepat rampung dalam bekerja. Ia tak gampang memberi kepercayaan pada sembarang orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
JERAT PESUGIHAN (TAMAT)
Misterio / SuspensoSebuah kisah tentang bagaiman keadaan yang menghimpit hidup, ternyata bisa menjerumuskan seseorang masuk dalam kubangan dosa.