8

11.5K 611 33
                                    

Mas Danu terus berjalan di sampingku sambil mendorong troli yang mulai terisi oleh belanjaan. Aku terus memasukkan jenis sayuran hijau: kangkung, bayam, sawi, kacang panjang, wortel, bumbu dapur, ayam beku, lalu menuju kulkas transparan, segera memasukkan beberapa botol yoghurt.

"Mas pengen dimasakin apa nanti malam?"

"Kita bakar ikan saja gimana?" Ia bertanya balik.

Aku langsung mengangguk. Lalu menahan tangan Mas Danu agar berhenti mendorong troli.

"Sebentar, Mas. Ada yang kelupa." Aku segera memeriksa belanjaan. "Ikannya belum beli. Kecap, mentimun, kemangi." Lanjutku sambil terus memeriksa. Mas Danu ikut menatap ke dalam troli.

Aku mengambil alih troli lalu berjalan mendahului Mas Danu.

"Li," panggilnya sambil menjajari langkahku.

"Aku tunggu di luar ya? Aku cari makanan buat makan sore," katanya sambil menatap jam tangannya. "Sudah jam 4. Biar hemat waktu."

"Ya, Mas. Belikan aku jagung bakar, ya?"

Mas Danu mengacungkan ibu jarinya lalu melangkah cepat menuju pintu keluar. Sementara aku langsung berjalan menuju rak berisi aneka sayuran, mengambil beberapa mentimun dan beberapa ikat kemangi.

Setelah memastikan tak ada yang kurang, segera kudorong troli menuju kasir, bergegas keluar setelah menerima uang pengembalian. Mas Danu menyambutku tepat di pintu keluar. Satu tangannya memegang kantung plastik transparan berisi jagung bakar, sementara tangan satunya memeluk buket bunga cukup besar.

"Memangnya kita mau ke mana lagi setelah ini, mas?" kataku saat ia mengajakku duduk di kursi depan swalayan.

"Pulang. Kan belum salat asar," sahutnya sambil menyerahkan plastik berisi jagung bakar. Aku meletakkan belanjaan di dekat kaki kemudian menggigit pelan jagung beraroma keju ini. Lalu menatap bunga dalam pelukannya.

"Oh, ya, ini buatmu."

Aku menautkan alis. "Aku nggak sedang ulang tahun."

Mas Danu mengusap puncak kepalaku dengan gemas. "Memangnya harus menunggumu ulang tahun baru memberikan bunga? Ini."

Aku menatapnya terharu. Tak menyangka Mas Danu yang biasanya tampak dingin bisa sehangat ini. Mas Danu mengulurkan bunganya yang segera kuterima, lalu menciumnya sambil memejamkan mata.

"Apa kamu suka bunga?"

Aku langsung mengangguk.

"Kalau begitu aku akan membelikanmu setiap hari."

"Nggak perlu, Mas. Boros. Mending buat beli kebutuhan yang lebih perlu."

"Aku bisa mencukupinya."

"Percaya."

Mas Danu menyentil hidungku. Diusap-usapnya kepalaku lalu diraihnya plastik hasil berburu di swalayan tadi.

"Yuk, pulang. Kita salat di rumah saja," ajaknya sambil mengulurkan tangan, aku segera menyambutnya. Bergandengan tangan, kami menuju tempat di parkir.

"Lii! Lianaaa!"

Seruan itu membuatku urung membuka pintu. Aku menoleh, mendapati seorang gadis berambut sepinggang berlari kecil kemari.

"Liii, aku kangen." Ia langsung memelukku begitu sampai, kemudian dengan senyum terkembang mencubit gemas pipiku.

Bertolak belakang dengan orangtuanya yang dulu murni memperlakukanku sebagai pembantu, Tika justru sebaliknya. Sikapnya begitu bersahabat. Tika berhenti mencubit pipiku, mata sipitnya kini memerhatikan Mas Danu.

"Kamu ...." Tika memandangku. Mas Danu mengulurkan tangannya.

"Danu, suaminya."

Tika membelalak tak percaya. Lalu menatapku dengan wajah penuh penyesalan. "Maafin aku, Li. Waktu itu, bukannya aku tak mau bantu. Tapi aku sedang sibuk urus skripsi jadi tak sempat baca WA. Begitu udah tak sibuk, WA-mu tak bisa dihubungi." Tika berkata sambil sesekali menatap Mas Danu.

Tika pasti merasa tak asing karena lelaki di sampingku ini pernah ditabraknya. Sementara Mas Danu sama sekali tak mengenali Tika karena saat Tika menjenguknya, ia sedang terbaring koma.

"Li ...." Tika menggapai tangan kiriku. "Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu? Rara bilang, kamu mau menikah dengannya karena ibunya memberimu uang 500 juta. Apa kamu bahagia, Li?"

"Emp itu ... tentu aku bahagia." Lirihku, melirik Mas Danu. Wajahnya yang tadi ceria, kini berubah kecewa.

"Yakin kamu bahagia? Jika tidak, akhiri aja pernikahanmu, Li. Aku yang akan kembalikan uang itu. Kamu selama ini sudah banyak membantuku."

Tika memandangku lalu berganti ke Mas Danu. Aku tahu Tika selalu tho the point, tapi tak seharusnya ia berkata secara gamblang begini di depan Mas Danu. Aku mencoba memberi Tika kode agar diam. Tika menghela napas panjang.

"Baiklah. Aku mengerti. Kalau kamu butuh bantuanku, langsung WA, Li." Tika memelukku lalu berjalan pergi sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang dengan wajah tak tega.

"Apa benar yang dikatakannya?" Mas Danu menatapku penuh selidik.

"Itu ...."

"Aku kecewa padamu, Li." Tatapan Mas Danu berubah dingin.

"Biar kujelaskan, Mas."

Mas Danu membuka pintu lalu bergegas masuk. Aku segera menyusul.

"Aku ...."

"Tak perlu menjelaskan. Kenyataannya begitu, kan? Terima uang dari ibu."

"Mas."

Ia berpaling. Segera dikemudikan kemudi dengan cepat. Dalam perjalanan pulang, kami sama sekali tak bicara. Begitu pun setelah sampai rumah. Salat berjamaah pun rasanya hampa. Kejadian terus berlanjut, kami membakar ikan tanpa bicara sepatah kata pun.

"Mas mau dibuatkan sambal bawang atau sambal kecap?" Aku memulai inisiatif membuka percakapan.

"Terserah." Ia menyahut tanpa menoleh, sibuk membolak-balik ikan.

Aku menghela napas. Sikapnya yang seperti ini, sungguh membuat hatiku pedih.

"Aku minta maaf."

"Aku salah." Lanjutku.

"Selama ini, kamu hanya berpura-pura menyukaiku?" Ia menatap tajam, terlihat begitu merendahkan. Aku langsung menggeleng. Ia menyipitkan mata, terlihat sangsi.

"Tentu kamu hanya pura-pura, karena yang kamu sukai hanya uangku."

"Nggak, Mas." Aku terus menyangkal. Faktanya, sikapnya yang melunak membuatku senang. Apa itu bukan cinta? Bersamanya aku merasa nyaman, apa itu juga bukan cinta?

Aku membuat sambal kecap sambil menggigit bibir kuat-kuat agar tak menangis, begitu pula saat mengiris mentimun. Segera kubawa ikan yang telah dibakar menuju ruang makan di mana ia telah menunggu lalu mengambilkannya nasi. Sesaat kemudian, kami makan dalam ketegangan.

"Jangan tunggu aku," kata Mas Danu sambil berdiri. Aku segera menyusul berdiri.

"Mas mau ke mana?"

"Keluar."

"Mas, jangan pergi."

Ia hanya menatap dingin, lalu melangkah cepat menuju pintu dan membantingnya. Aku mengikutinya keluar sambil sesekali mengusap sudut mata. Begitu mobilnya mulai melaju ke jalan raya, tangisku pecah.

#Terlalu_panjang kan, semoga nggak bosan.

#Pemeran_tokohnya_ada_di_instagram @fitri_soh

#Jika cerita ini menghibur, jagan lupa vote atau sentuh tanda bintang ya, teman. Love u. Btw, pengen lanjut kapan?

Suamiku Seperti BatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang