Apa dia ini sungguh manusia? Mau 'tidur' dengan istrinya, tetapi yang dibayangkannya perempuan lain. Liana
***
Suamiku tak hanya dingin, namun juga irit kata. Setiap aku bertanya,
"Mas, sudah makan belum?"
Jawabnya, "Sudah."
"Mau kubuatkan teh, Mas?"
"Tidak."
"Mas mau kurebuskan air buat mandi?"
"Ya."
Aku sampai tercengang heran. Apa berkata lebih panjang sedikit akan membuatnya radang tenggorokan atau malah sakit perut akut? Tidak jarang, bibirku mengatup rapat karena kehabisan kata-kata. Ia selalu menjawab, tak pernah bertanya balik.
Sungguh, meskipun ia tampan, bertubuh tinggi ramping, berkulit bersih dan punya tatapan memabukkan, namun ia bukan suami ideal bagiku. Mungkin, bagi semua wanita. Ia tak romantis. Kaku seperti batang pisang. Jangan bayangankan bagaimana suasananya saat kami melakukan hubungan pasutri. Itu tidak pernah terjadi. Atau mungkin ... belum? Jangankan melakukan seperti yang pasangan suami istri baru menikah perbuat, mencium kening saja hanya pas ijab kabul saja.
Kalau alasan tak melakukan 'itu' karena tak suka, kenapa dulu mau menikah denganku?
Aku sih, jelas, sudi membina rumah tangga dengannya karena imbalan uang dari ibunya yang tak sedikit. Cukup, lah, untuk melunasi utang Ayah sehingga rumah penuh kenangan bersama mendiang Ibu tak jadi dijual. Jadi, bodoh jika aku tak mau menikah dengan lelaki pemilik banyak studio itu, sudah begitu, ganteng pula. Sekalian berenang, minum air.
Masih terpahat segar dalam ingatan, saat pertama bersua dengannya. Ia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, sebulanan tak sadarkan diri. Tika yang membawaku padanya.
Anak majikanku itu, tak sengaja menabraknya di jalan depan taman. Ia memberi imbalan uang yang tak sedikit asal aku mau rutin menjenguk korbannya sebagai ungkapan penyesalannya karena mengemudikan mobil dalam keadaan kalut. Aku setuju saja. Sampai akhirnya, ibu Mas Danu meminta agar aku mau jadi istri anaknya dengan imbalan uang.
Jadi, aku murni menikah tanpa cinta. Hanya demi uang, sementara dia ... entahlah. Tidak tahu. Ia tak pernah berkeluh kesah tentang masalahnya, seolah aku adalah orang asing. Saban hari, kupompa semangat agar terus sabar. Berprinsip kuat bahwa cinta pasti tumbuh seiring bergantinya waktu. Memang agak kuno, tapi memang begitulah caraku bertahan.
Bunyi ketukan dari arah depan membuatku lekas berdiri, lalu melangkah cepat menuju ruang tamu. Seperti biasa, aku menyambutnya dengan senyum terkembang di bibir. Istri harus terlihat menyenangkan di depan suaminya, bukan? Tidak peduli baginya, mungkin aku hanyalah pajangan. Atau mungkin ... pembantu?
"Mas mau kurebuskan air buat mandi?" Ini adalah pertanyaan rutinku. Ia yang baru mengenyakkan diri di sofa tampak begitu lelah, langsung mengangguk. "Ya."
Aku melirik jam, sudah pukul 9 malam. Aku menatapnya sejenak lalu menuju dapur. Setelah menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi air, kukeluarkan bungkusan kecil dari saku celana. Ini dari ibu mertua. Sambil menatap benda kecil di tangan, aku menimbang-nimbang. Haruskah melakukannya?
Aku menarik napas dalam, mencoba meredam gemuruh dada saat membayangkannya. Kata ibu mertua, ini adalah obat perangsang. Heran, kenapa ibu bisa tahu kami tak pernah melakukan 'itu? Tahu-tahu beliau datang, tanya mantunya ini sudah hamil atau belum, lalu memberikan ini. Haruskah melakukannya? Perasaan lagi-lagi digelayuti ragu. Melakukannya karena obat dan bukannya atas kemauan sendiri ... duh ... aku memejamkan mata, galau tingkat tinggi.
Mas Danu menghampiri tepat setelah kusiapkan air untuknya. Tanpa basa-basi, ia menutup pintu kamar mandi. Tak berselang lama, terdengar suara air yang jatuh menimpa lantai. Lakukan, tidak, yaa? Tergambar kembali wajah ibu mertua yang begitu berharap agar kami segera memberi cucu untuknya. Lalu, membayang wajah ayah yang menatapku kasihan. Ayah mungkin bisa merasakan rumah tangga sang anak yang tak berjalan harmonis
Menarik napas, aku mencoba memantapkan hati. Lalu dengan tangan gemetar, memasukkan sebutir obat ke gelas teh yang baru dibuat. Siapa tahu dengan aku hamil, hubungan kami menjadi lebih dekat. Laiknya pasangan menikah.
"Sudah kubuatkan teh untukmu," kataku saat ia keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Sebagai perempuan normal, aku agak berdebar melihatnya hanya berpakaian seperti itu.
"Ya."
Ia masuk kamar, menguncinya. Sementara aku segera membawa teh hangat menuju ruang depan. Sudah menjadi rutinitasnya, duduk di depan sebentar sambil melihat-lihat laporan yang dikirim lewat WA, baru setelah itu beranjak tidur.
"Diminum, Mas," kataku dengan jantung berdegup kencang saat ia duduk di sebelahku. Mas Danu mengangguk, meraih HP di sofa, lalu sibuk dengan sesuatu entah apa.
"Diminum, Mas, nanti keburu dingin."
Tidak digubris. Ia sudah tenggelam dalam aktifitasnya. Haruskah menunggunya di kamar saja? Baiklah, bete juga dicueki.
Beberapa menit kemudian, saat kantuk mulai membuat mata terasa berat, kurasakan tangan Mas Danu menyentuh bahuku dari belakang. Embusan napasnya yang hangat menerpa puncak kepalaku. Membuat dada bergemuruh hebat. Jantung mengentak-entak menyesakkan dada. Ini adalah pengalaman pertama. Rasanya tegang bukan main.
Aku memejamkan mata saat ia membalik tubuhku menghadapnya. Tangannya bergerak menyentuh pipiku. Ia berbisik pelan di telinga, "Syafitri, aku sangat merindukanmu. Akhirnya, kamu datang juga padaku."
Perasaan menyenangkan yang tadi membuat tubuh bereaksi aneh, terempas begitu saja. Aku beranjak bangun dengan hati berkedut nyeri. Siapa Syafitri?
"Syafitri ...." Ia bergeser mendekat, menangkup wajahku dengan kedua tangan. Menatapku dalam-dalam. Sinar mata penuh kerinduan itu ... jelas untuk gadis lain. Aku mengigit bibir, menahan perasaan sakit yang kian menjadi.
"Aku Liana, Mas. Istrimu."
"Syafitri ...." Ia mencoba memelukku.
Aku tak kuat lagi. Juga tak ingin melakukannya dengan ia membayangkan sang istri sebagai gadis lain. Aku tak sanggup. Meskipun awalnya menikah karena uang, tapi ini begitu menyesakkan dada. Sangat menyakitkan.
Aku beranjak berdiri lalu keluar kamar sambil terisak, berlari ke kamar sebelah, menguncinya, kemudian bersandar di pintu sambil menangis. Tak kuacuhkan gedoran yang membuat pintu terus bergetar. Hati dan perasaan sama sakitnya. Apa salah jika aku sakit hati karena ia menyebut nama perempuan lain? Meski menikah awalnya karena uang, tetapi, aku bersungguh-sungguh menjadi istri yang baik. Namun nyatanya, semua terbukti tak berarti.
"Syafitri, buka pintunya. Apa lelaki itu lebih penting daripada aku? Sya. Buka pintunya. Syaaa."
Aku memejamkan mata, terisak kecil. Tak lama, terdengar isakan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Seperti Batu
RomanceApa dia sungguh manusia? Mau 'tidur' dengan istrinya, tetapi yang dibayangkannya perempuan lain. *** Tak mudah menjadi Liana. Meskipun awalnya menikah karena uang, namun ia bersungguh-sungguh menjadi istri Danu, lelaki super dingin yang membuatnya s...