4

14.9K 726 21
                                    

Baiklah, aku memejamkan mata. Toh, mengenakan beha dan celana dalam. Satu. Dua. Tiga. Aku sangat berharap lelaki tak peka itu berpaling, tapi nyatanya tatapannya tetap terpahat ke sini.


Tidak punya pilihan, akhirnya kulepas jubah mandi sambil menepis perasaan malu yang semakin menggila. Dadaku bergemuruh saat ia berjalan mendekat, menekan saklar lampu, lalu tangannya membungkus tubuhku dari belakang.


"Bukanya kamu ingin kita makan dulu?" tanyaku dengan suara bergetar. Perasaanku bergejolak hebat. Tidak pernah sedekat ini dengan dengan lelaki.


"Nanti saja. Tinggal telepon."


Kami bersitatap dalam keremangan. Ia membalik tubuhku menghadapnya, lalu mengecup keningku lembut. Aku memejamkan mata, merasai desir aneh yang menjalari seluruh tubuh.


"Syafitri ...."


Aku menelan ludah. Perasaan sakit menyeruak menusuk dada. Air mata terasa bergulir membasahi pipi. Namun, aku sama sekali tak memberontak. Kubiarkan saja ia melakukan kewajibannya sebagai suami. Tak peduli hati dan perasaan sama sakitnya. Sangat-sangat sakit.


***


Aku menggeliat sambil membuka mata saat usapan lembut terasa di bahu. Wajah Mas Danu masih basah. Air menetes dari rambutnya, jatuh mengenai wajahku yang segera ia seka dengan ibu jarinya. Aku sedikit mengernyit saat silau matahari dari jendela yang terbuka lebar mengenai mata lalu perlahan bangun, nyaris tersenyum untuk mengucap selamat pagi jika tak segera ingat kejadian semalam.


"Ingin makan di resort atau di luar?" tanyanya, memandang tepat ke manik mataku. Tatapannya seperti semalam, membuat hatiku kembali berdenyar sakit.


"Terserah." Aku menjawab pelan.


"Apa?" 


Tenggorokanku tercekat. Tatapan Mas Danu terlihat bersalah, membuatku jadi ingin menangis saja.


Apa semalam ia melakukannya karena terpaksa? Dengan membayangkan sang istri sebagai gadis lain? Hatiku bagai dicacah-cacah. Aku menggigit bibir lalu berpaling, mencoba menahan tangis.


"Kamu segera mandi. Lebih baik kita sarapan di luar saja. Sekalian jalan-jalan."


"Ya." Aku meraih selimut untuk menutupi tubuh lalu berlari ke kamar mandi sambil menangis, menyalakan kran, kemudian meluapkan kekesalan dengan terisak kencang di bawah guyuran air hangat. Sedih, kesal, marah, semua emosi membaur menjadi satu, membuat dada seperti ditekan benda berat, rasanya terasa berat sampai sulit bernapas.


Mas Danu mengenakan kaus yang semalam hanya ia pakai sebentar sebelum kami membaur menjadi satu lalu ketiduran hingga melewatkan makan malam. Aku meraih baju dalam tas, lekas membawanya menuju kamar mandi tanpa memedulikan tatapan protesnya. 

Suamiku Seperti BatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang