3

15.9K 622 20
                                    

Mas Danu kembali pulang sore. Kami makan tanpa bicara. Lebih tepatnya, sejak ia pulang, sama sekali tak ada perbincangan. Aku yang biasanya lebih dulu menegur misal menanyakan mau dibuatkan kopi atau tidak, memilih langsung membuatkannya dengan mulut terkatup. Memang sengaja melakukannya untuk merangsang Mas Danu membuka percakapan. Namun, ia sama sekali tak bicara. Mulutnya terus bungkam.


Sebenarnya, aku ini menikah dengan manusia atau benda, sih? Kok sama sekali tidak peka, ya?


Aku memandangnya kesal. Sepertinya, aku harus bicara tho the point saja.


"Tadi ibu datang, Mas. Ibu bilang, kenapa kita lama punya anak."


Sungguh lega setelah mengucapkannya, namun sesudahnya, merasa sangat malu. Semoga dengan memberi embel-embel 'kata ibu' ia tak berprasangka aneh-aneh. Memang ibu menanyakan aku sudah hamil atau belum seminggu yang lalu.


Mas Danu menatapku, lalu buru-buru meraih gelas tehnya, langsung meminumnya hingga kandas. 


"Kamu ingin kita melakukannya?" Tatapnya lekat.


Aku tercengang. Dada bergemuruh hebat. Siapa yang tak syok ditodong langsung pertanyaan seperti itu? Bisakah melakukannya tanpa bertanya-tanya? Apakah si perempuan sebelum melakukan 'itu' selalu ditanyai begitu oleh pasangannya?


Aku berusaha tak terlihat sedang salah tingkah. "Ibu yang menanyakannya tadi siang, bukan aku, Mas."


"Tadi siang?" Mas Danu mengernyit. Ia menyuap makanan lalu melanjutkan, "tadi siang ibu ke studio bersama teman-temannya."


Deg! Jantungku rasanya mau melompat dari rongganya. Wajahku memanas seketika. Aku menarik napas dalam, berusaha mengendurkan ketegangan. Mas Danu pasti berprasangka akulah yang menginginkannya.


Sambil mencoba mengenyahkan perasaan malu, aku berkata, "Sebenarnya, sudah satu Minggu yang lalu ibu bilangnya. Tapi baru kusampaikan padamu."


Ia mengerutkan kening. Memandang cukup lama. "Oh," ujarnya.


Lalu, ia kembali melanjutkan makan. Perasaan malu terus bergumul di hatiku. Aku menyuap nasi sambil menunduk, berharap ia pergi lebih dulu.


"Kamu ingin kita melakukannya?"


"Apa?" tanyaku tanpa menatapnya.


"Punya anak."


Hening cukup lama. Dengan tubuh terasa panas dingin aku mendongak, langsung mendapati sepasang matanya yang menatap tajam. Aku menggigit bibir. Mengangguk, tentu akan membuatku sangat malu. Apalagi jika ternyata ia tak menginginkan itu. Akhirnya, alih-alih menjawab, aku malah melontarkan pertanyaan baru.

Suamiku Seperti BatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang