ANTV. Indosiar. RCTI. Terus saja tanganku menekan-nekan tombol remote. Tak satu pun chanel yang menarik perhatianku, rasanya tetap saja suntuk. Aku mengembuskan napas saat teringat sikap Mas Danu tadi pagi, sementara tangan kiri bergerak mengusap sudut mata. Jangan menangis, Li. Aku mencoba menguatkan hati.
Akhirnya setelah cukup lama terdiam, aku beranjak menuju kamar, mengganti baju dengan cepat, menyambar tas, lalu melangkah cepat menuju pasar Punggur lalu naik ke dalam mikrolet sebelum pikiran tiba-tiba berubah. Ya, lebih baik mengunjungi Ibu di Metro daripada terus berkubang dalam kepedihan. Wanita paruh baya itu sedang memasak saat aku tiba.
"Assalamualaikum, Bu."
"Liii," seru Ibu seraya mematikan kompor lalu membentangkan tangan dan memelukku. Dibimbingnya menantunya ini menuju kursi.
"Tumben ke sini gak bilang-bilang, mau beri kejutan ibu nih ceritanya?" Ibu tersenyum merekah.
Aku mengangguk kecil. Ingin sekali menceritakan berbagai kecamuk yang terus mengimpit dada ini padanya, namun, mengurungkan niat mengingat ia mudah kepikiran. Bisa-bisa, hipertensinya kambuh.
"Ibu sedang apa?" Aku menatap ke arah kompor. Di mana harum rendang berasal.
"Ibu sedang masak daging. Mau ibu bawa ke rumahmu, Li. Eh, kamunya datang. Ayo, ayo, makan." Ibu beranjak berdiri lalu menarik tanganku.
"Aku udah makan, Bu."
Ibu mengamati wajahku. "Kamu ada masalah? Bertengkar sama Danu, ya? Cerita saja sama ibu."
Aku menggeleng. "Nggak, Bu."
Ibu mengusap bahuku. "Ibu ambilkan makan, ya?"
Lalu tanpa menungguku bicara, ibu mengambil piring di rak, mengisinya dengan nasi dan lauk, kemudian membuat jus alpukat. Ibu selalu seperti ini, begitu perhatian. Mirip dengan mediang ibu.
"Ayo makan, Li. Mau temani ibu belanja, tidak? Sekalian nanti mampir ke studio Danu, ibu mau ambil foto."
Aku menerima piring yang diulurkan ibu kemudian mengangguk perlahan. Boleh juga. Sejak menikah dengannya, aku memang belum pernah sekalipun mengunjungi studio Mas Danu.
***
"Bagaimana? Kalau yang itu kamu suka gak?" Ibu menuding gamis berwarna merah yang tampak anggun pada manekin.
Dengan gerakan pelan kuturunkan tangan ibu. Sudah dua jam lebih kami menyusuri cenderawasih, membeli beberapa baju untukku, ayah, ibu, juga dua kemeja untuk Mas Danu. Ibu memang selalu senang belanja.
"Itu bagus, Li. Cocok buat kondangan." Ibu terlihat menyayangkan saat aku menariknya menjauh."Bajuku masih bagus-bagus, Bu," jelasku sambil menatap tiga kantung besar belanjaan yang kutenteng di tangan kanan. Ibu juga membawa tas belanjaan lumayan besar.
Kalau Mas Danu sampai melihatnya, apa yang kira-kira akan dipikirkannya? Bisa jadi, ia akan semakin tak menyukaiku. Terus berpresepsi aku menikahinya benar-benar karena uangnya.
Sambil terus melangkah pelan menuju taman, aku terus berpikir bagaimana caranya agar Mas Danu kembali bersikap hangat. Mengembalikan 500 juta pada Ibu, jelas tak mungkin. Haruskah meminta bantuan Tika?
Aku menggeleng, Tika terlalu blak-blakan. Ia bisa saja mengatakannya pada Mas Danu.Tuhan, apa yang harus kulakukan?
"Itu, Li, studio suamimu." Ibu menunjuk ke arah bangunan cukup besar dengan plang hijau mentereng. Ada banyak orang di sana. Dadaku bergemuruh saat melihat Mas Danu keluar dari mobil lalu berjalan masuk ke dalam studio.
"Danuuu!" Teriak Ibu. Namun Mas Danu sudah keburu masuk.
"Ayo, Lii."
Aku menatap Ibu ragu. Dengan membawa belanjaan sebanyak ini ... aku menggeleng. Tidak. Aku tak mau Mas Danu semakin berprasangka jelek.
"Ayoo." Ibu menarik tanganku.
"Aku di sini saja, Bu."
"Kenapa? Nanti kita foto berdua." Ibu menarik tanganku lebih keras.
Tanpa daya, aku mengikutinya. Dadaku semakin bergemuruh saat melangkah masuk melewati beberapa perempuan yang tampak sibuk di depan komputer dan akhirnya aku dan Ibu duduk di taman di belakang studio. Terlihat satu dua anak-anak sedang bermain ayunan ditemani oleh ibunya.
"Tunggu di sini dulu, Li. Ibu panggil suamimu dulu."
Aku berusaha mencegah. Tapi ibu tak mengacuhkan. Ia keluar dari taman sambil berteriak memanggil mas Danu. Aku segera menjadikan belanjaan menjadi satu plastik dan meremas tangan saat terdengar suara Ibu dan Mas Danu berjalan mendekat.
"Aku kan sedang kerja, Bu. Seharusnya ibu tak ke sini."
"Ibu hanya ambil foto."
"Kenapa harus mengajak Liana ke sini?" Nada Mas Danu terdengar keberatan.
Aku menggigit bibir. Apa Mas Danu begitu benci sampai tak mau aku ke sini? Atau ia takut aku akan menguras ATM-nya setelah tahu salah satu studionya begitu ramai?
Aku mengusap sudut mata sambil berdiri, membalikkan badan, kemudian berlari keluar tanpa tas belanjaan."Lii!"
Terdengar suara ibu memanggil. "Lianaa!"
"Biarkan saja, Bu. Mungkin ingin membeli sesuatu.""Apa kalian bertengkar?"
Suara mereka menghilang seiring langkahku yang semakin menjauh. Aku menyetop mikrolet menuju terminal lalu kembali menyetop mikrolet arah Punggur. Sepanjang jalan, HP-ku tak henti berdering. Dari Ibu. Itu membuatku kecewa. Sudah pasti hal yang bodoh jika mengharap Mas Danu-lah yang menghubungi.
#Jika cerita ini menghibur, jangan lupa vote atau sentuh tanda bintang ya, Teman. Love Uu
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku Seperti Batu
RomanceApa dia sungguh manusia? Mau 'tidur' dengan istrinya, tetapi yang dibayangkannya perempuan lain. *** Tak mudah menjadi Liana. Meskipun awalnya menikah karena uang, namun ia bersungguh-sungguh menjadi istri Danu, lelaki super dingin yang membuatnya s...