Sepasang netra sekelam langit malam itu berpendar gugup.
Ia tengah diapit petinggi lain, jauh di atasnya yang hanya seorang Tuan Muda, masih entah kapan tahunnya naik tingkat menjadi Sang Raja.
“Yunseong, dengarkan Ayah, nak.”
Badan Yunseong menegak, “Ya, Ayah?”
“Berapa kalipun kau membantah, Ayah akan tetap menjalankan apa yang sudah sepantasnya dijalankan.”
Si Tuan Muda menelan ludahnya, tangannya terkepal kuat hingga bukunya memutih, ia mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
Dan ia panik.
“Tapi, Ayahanda, rencana ini tidak layak disebut sebagai 'sesuatu yang sepantasnya dijalankan'!”
Nafas Yunseong mulai memburu, “Tidak adil bagi mereka, orang bawah tanah! Yang benar saja, memusnahkan kota bawah tanah dan mengusir mereka semua keluar negara tanpa sepeserpun ganti rugi atau pesangon? Ayah kira, mereka bukan manusia?”
Hwang Minhyun, yang duduk dengan gagah di samping permaisurinya, Hwang—Jung—Chaeyeon, menghela nafas dalam, “Tidak ada kehidupan di sana, anakku, anggaplah begitu. Sudah tidak ada hukum yang mengikat mereka, hidup mereka liar, tak ubahnya binatang.”
“Maaf, binatang kata Ayah?” alis Hwang Yunseong menukik sarkas, tak peduli jika ia bertingkah tak pantas di hadapan Sang Ayah, Ibu, dan petinggi lainnya.
“Ambil contohnya, Kwon Eunbi, yang kini hidup mengabdikan dirinya, ah, tidak, lebih tepatnya menjadi budak untuk orang atas seperti kita, tidakkah memalukan bagi kita untuk menyebutnya 'binatang', wahai Ayahanda, Baginda Raja yang terhormat?”
“Kwon Eunbi berbeda, begitupun orang bawah tanah yang kini tinggal di atas, mereka sudah terikat hukum, status lama pun telah mereka lepaskan.”
“Lalu,” Yunseong menekankan kalimatnya, “apa bedanya mereka yang masih tinggal di bawah dengan yang sudah pindah dari bawah? Tetap saja mereka berasal dari sana, pun mereka semua adalah manusia. Tak bisakah kita samakan derajat mereka atau memukul rata perlakuan yang diberikan pada mereka selayaknya yang kita dapat?”
Perdana Menteri, Ong Seongwoo, tergerak untuk meladeni putra mahkota yang satu ini.
“Tuan Muda, mereka bukanlah manusia yang berpotensi, perlakuan yang diberikan sudah tidak pantas disamaratakan lagi dengan kita.”
Yunseong menatap nyalang, “Salah mereka jika tak berpotensi sebagaimana kita? Coba sekarang mari kita sadari, selama ini, kalian, para petinggi, yang sudah mencabut hak kemanusiaan mereka!”
Semua yang ada di tempat itu terdiam mendengar kalimat dari Tuan Muda.
“Tak ada hukum kalian bilang? Wajar, mereka manusia yang terpojok. Apapun halal bagi mereka jika sudah berkenaan dengan urusan menyambung hidup. Tak berpotensi kalian bilang? Bukankah sudah jelas, semua sarana sudah kalian cabut, bahkan dari yang paling sederhana, pangan, pendidikan, bahkan hal sekecil penerangan, dan secara tidak langsung, kalianlah yang mematikan kehidupan mereka, kalian yang memaksa mereka menjadi manusia tanpa potensi!”
Hwang Minhyun berdiri dari duduknya, kedua mata Sang Raja itu menatap nyalang pada Sang putra, “Semua keputusan sudah di setujui oleh kami, Hwang Yunseong, jadi jaga bicaramu dan belajarlah dengan benar sebagai seorang Tuan Muda calon Raja!”
“Ayah tidak mengerti!” Yunseong berdiri dari duduknya.
“Disetujui oleh kami? Maksud Ayah, orang atas? Tidakkah Ayah pernah berpikir untuk mendengarkan suara mereka, orang bawah? Tidakkah Ayah masih memiliki nurani manusia di balik angkuhnya tradisi seorang Raja yang senang menindas rakyat bawah?”
“Hwang Yunseong, duduk!”
“Kalau Ayah mau mendidik Yunseong menjadi Raja yang melanjutkan tradisi lama yaitu menginjak rakyat bawah, maka maaf, Hwang Yunseong anakmu ini adalah mutlak anak durhaka, karena didikan Ayah tidak akan pernah Yunseong terima.”
“Hwang Yunseong, Ayahmu bilang, duduk, jadi, duduklah!”
“Maaf, Ibu, tidak sepantasnya putra mahkota yang menolak tahta ini duduk lebih lama di sini.”
Yunseong berdiri seutuhnya, meninggalkan ruangan diiringi teriakan Hwang Minhyun, “Hwang Yunseong, Ayah tidak memintamu keluar dari ruangan!”
Masa bodoh, dalam pikirannya hanya ada Chaewon, Kim Chaewon.
“Petite! Bangunlah!”
Yunseong terbangun dari posisi tidurnya, di atas kursi butut rumah Chaewon.
Didapatinya, si gadis yang masih terlihat lelah ini menunjukkan raut wajah ketakutan, begitupula dengan Mamanya yang menatap Yunseong penuh tanya dan penghakiman.
Kemudian, terdengar suara pintu diketuk, diiringi teriakan yang teramat familiar di telinga Hwang Yunseong.
“Tuan Muda, kami tau anda ada di dalam!”
Chaewon bergerak gelisah, “Mama mengunci pintunya, kami takut.”
“Mereka semua aparat, Petite, ada apa ini? Tuan Muda itu kamu, kan?” tuding Mama.
Yunseong mati kutu.
Sialan, Yunseong lupa soal penjaga pintu keluar masuk kota bawah tanah, pasti para bajingan itu yang melapor pada kerajaan, segera setelah pencariannya dilakukan.
Sialan, kepanikan membuatnya hilang kewarasan.
Memanfaatkan sisa kewarasannya yang nyaris kembali hilang tertelan panik, Yunseong berjalan menuju ke pintu, bersiap untuk keluar.
Namun sebelumnya, ia menoleh ke belakang, menatap Chaewon dengan mata kelamnya.
“Aku putra mahkota kerajaan biadab yang selama ini menyusahkan hidup kalian.”
Chaewon dan Mama terbelalak, “Putra.... Mahkota?”
“Tenanglah, aku di pihak kalian,” gedoran pintu dan teriakan yang semakin menjadi, bahkan mengancam untuk mendobrak, membuat Yunseong semakin kalap.
Pintu ia jangkau, kunci sudah siap ia hilangkan, sebelumnya ia berbicara lagi, “Hwang Yunseong, kuharap kita bisa berhenti bertemu dalam keadaan yang menyesakkan, Kim Chaewon.”
Setelahnya, pintu terjeblak.
Dan semua yang Yunseong takutkan, sudah sampai di depan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[C] Sparkle | Yunseong, Chaewon ✔
Fanfic[ Part of The C Universe. ] ❝ Since one day you'll disappear, I'll keep every part of you, even if it'd ended up as tragedy. ❞ ¦ Published: 09-10-19 Finished: 25-02-20 ❄ Snowflake series ©favorbitea