Tunggu, siapa Ratna?
Mengapa dia mengirim puisi kepadaku?
Kucoba menelaah bait per bait puisi itu, dan aku dapat 2 kesimpulan:
1. Mula-mula dia rela dilupakan
2. Setelahnya dia lupa telah direlakanKembali aku menatap nanar layar bioskop yang teramat megah itu, dengan segala kapuk dan jaring laba-laba dari bawah kursi dan menjalar dari langit-langit bioskop. Radarku mulai sadar, bahwasannya aku lebih dari sekedar terdampar.
Akan tetapi ada cerita yang lebih mengusik dibandingkan semuanya, tentang romansa yang rumit dan cinta yang renta.
Tentang dia yang ikhlas dan dengan dia yang culas, kembali kucoba ukir senyum Ratna dan Kara. Akan tetapi hanya senyum ranum yang kuterima, bukan dia yang mengaku istriku.
Sial, cahaya itu kembali lagi.
Ratusan jiwa melayang di Wamena
Konflik politik berujung genosida
Sila pertama yang kian menggelitik
Semuanya sama-sama mengusikSeberapa akbar sikap rela
Seberapa raya sikap ikhlas
Mengiklaskan tulang rusuk diremuk
Merelakan jantung digerusMengapa kita masih berdiri diatas ego?
Dikala saudara menelan darah dan kencing mereka sendiri
Mengapa kita masih merasa jago?
Dikala saudara tengah membunuh diri sendiri dengan topeng ikhlas dan tangguh.Sungguh Kara, aku merasa lemah apabila aku menangkap peluh
Sungguh Kara, aku mati kutu apabila aku dipaksa rela
Aku mungkin tak berjuang mati-matian seperti saudara kita di Wamena, Hongkong, maupun Xinjiang
Tapi aku rela remuk, demi apa yang kupercayai paling utama.Kau
Kara
Tak ada yang lain
KaraEsa, 7 Agustus