Pantura

20 0 0
                                    

Menyusuri satu pulau sepanjang 1 kilometer bukanlah hal yang paling menyenangkan dan cenderung melelahkan, perutku sudah sedemikian kosong. 1 hari tanpa potongan, remahan, butiran makanan sedikitpun. Terasa tubuhku mulai terkompromi rasa setengah mati dan lemas tak berkesudahan.

Akupun berusaha menyusuri pesisir pantai hingga kutemui di satu titik dimana rasanya aku menginjak ranjau turnoff, dimana duniaku menjadi hitam dan hening. Suatu kekosongan yang memproyeksikan perasaan hatiku, pikiranku, dan perutku saat itu jua.

Pernahkah kau merasakan jantungmu berdetak sedemikian kencangnya sehingga kesempatan bernapasmu kian menipis dan kemungkinan matimu kian menebal? Ditambah usikan liar Ratna, kian bangsat hariku.

Dalam kosong itu aku mulai mencium aroma kewarasan, seperti melati tetapi jauh lebih pekat. Seperti kewarasan yang murni, yang telah hilang sedari 24 jam lalu.

Dalam kosong itu aku melihat setitik cahaya hitam, yang kian lama memudarkan pekatnya hitam dan memperjelas realita. Sial, aku berada di dapur. Terlihat ada sedikit nostalgia yang terjadi oleh aku dan perempuan cantik jelita yang kurasa Ratna. Aku tengah mendekap Ratna yang sedang memasak dari belakang selagi mengusap pipinya dan sesekali menyusuri tangannya. Suasana kian romantis dengan musik lawas yang menambah keintiman malam itu. Aku terlihat begitu bergairah, dengan Ratna yang tidak memasang wajah bahagia, dia seperti tengah menahn sesuatu

Aku menjadi saksi sesuatu yang tidak pernah kusaksikan, terlampau bingung pikiranku pernah punya wanita yang kucintai dan mencintaiku dengan segala kekuranganku. Tak terasa kakiku kian lemah dan mataku kian berair. Sesaat kemudian Ratna membuka mulutnya.

"Mas, kenapa? Aku tak habis pikir kau mau melakukannya?"

"Sudahlah tak apa, kita sehidup sematikan? Aku telah menerima kekuranganmu, dan menikamati kelebihanku. Aku berharap kau juga berlaku demikian kepadaku"

"Tapi mas, ini bukan hanya menyangkut perasaanku saja, ini menyangkut perasaan kita sebagai pasangan sampai akhir hayat. Apakah komitmen yang imoral seperti ini yang kita inginkan?"

"Sudahlah dek, jangan takut, aku jamin ini adalah cara untuk kita kembali"

Tangan Ratna seakan menolak pembenaran yang tidak benar itu, tangan Ratna langsung mengambil pisau, langsung menghempasku kebelakang dan menusuk kaki kananku dengan pisau dapur yang cukup tajam itu. Tak terelakkan teriakanku di proyeksi itu. Ratna lantas langsung mengambil piring kaca di dapur dan memukul sekuat tenaga, akupun langsung terbujur kaku.

Ratna berjalan dengan penuh isak tangis, dan perlahan dia berjalan ke arahku sembari mengatakan "Maaf mas" dengan penuh isak tangis dan langsung memelukku dengan erat bak mengisyaratkan selamat tinggal yang teramat pilu. Setelahnya dia berteriak, "Karaaa" sekuat tenaga.

Sesaat aku termenung, mengapa Ratna kenal dengan Kara? Ada sesuatu yang lebih genting dibandingkan asupan nutrisi saat ini, yaitu kebenaran dan kewarasan.

Hitam tak selamanya kelam
Putih tak selamanya suci
Seribu serabut yang ribut karam ditelan hitam
Satu butir debu terpancar oleh sinar

Aku mulai mencintai hitam
Disaat hanya dia yang jujur dan penuh misteri
Bak musik pantura yang berirama
Hitam mengusik hati tanpa perantara

Mari menghitam bersamaku
Ingin menghitam bersamamu
Hitamlah kita bersama
Lebur di dasar ruang hampa

Puisi Untuk KaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang