Rupa

21 0 0
                                    

Sudah lewat sepuluh kali aku melewati bioskop kosong ini, dengan segala suara yang mengusik damai. Aku duduk di kursi bioskop merah berkapuk dangkal, sungguh tak nyaman. Dikala aku mencoba beradaptasi dengan kerataan kursi ini aku merasakan sesuatu di kantongku.

Uang 30.000.

Tiket kereta api, bulan lalu, Sribilah Eksekutif, Medan-Prapat.

Foto aku, wanita, dan anak kecil di Bukit Kubu.

Dan surat?

Tunggu sebentar, akan kubuka surat itu.

"Esa, tak berujung penyakitmu itu. Lekas sembuh.

-istri tercinta"

Istri?
Apakah Kara sudah menjadi istriku? Apa-apaan ini?
Mengapa aku sudah punya keluarga?

Oh, sial. Cahaya nostalgia itu kembali lagi. Rasanya kosong, hanya ada narator yang dengan liar berkata:

Tak ada yang lebih indah dari kata lupa dan rela
Keduanya sama-sama menenangkan dan menyabarkan
Keduanya sama-sama mengajarkan makna syukur
Rela aku dilupakanmu, berarti aku orang yang paling mulia.

Jika dunia beserta isinya memutar sederhana, aku akan takut
Takut tidak rela merindukanmu sesederhana mungkin
Takut aku lupa merindukanmu sepenggal saja
Lupa aku direlakanmu, berarti aku orang yang paling hina.

Kerlap kerlip kunang menjelaskan hal manusia
Yang tak bisa merelakan cahaya
Yang tak bisa melupakan sinar
Yang redup di telan gelapnya sunyi.

Ratna, 1 Juli.

Puisi Untuk KaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang