Coca cola mundur tiga langkah...
1...
2...
3...
Suasana kian berubah drastis, kakiku gemetaran dan tanganku entah mengapa mengenggam pegangan. Tunggu, aku berada di kereta. Kereta Sribilah, "bangsat" ucapku pelan. Kondisi kereta layaknya biasa, kursi yang tidak terlalu ramai, lorong yang sempit dan kursi yang menua. Semuanya renta.Tertuju mataku pada satu titik kereta, dimana terdapat sesuatu yang kurasa sangat familiar tapi tak tahu apa. Aku mendekati titik itu, sebuah tempat duduk yang saling berhadapan. Akupun duduk, cukup hangat dan familiar nampaknya titik ini.
Tak kusadari ada koper tersepak kakiku, koper yang tidak familiar. Entah mengapa aku mengetahui kode koper itu, seperti sudah punyaku saja. Akupun melucuti dan menerawang isi koper itu. Terdapat tiga buah benda di dalamnya, sebuah headset, buku, dan sebuah biskuit wafer coklat.
Entah mengapa aku tak sungkan melumat dan mencerna wafer itu, sungguh nikmat rasanya sangat nostalgik. Kubuka pula buku tulis itu, kubuka halaman pertama dari kira-kira 50 halaman yang ada. Terdapat pesan yang cukup menarik di dalamnya.
Kompilasi Demagogi Untuk Ratna
Ditulis dalam tinta hitam, Arian Bold, ukuran 72.
Ada note yang ditempel dibawahnya dengan tinta merah, bertuliskan:
Buka halaman 35 dan pakai headset...
Perlahan kuperhatikan sedikit demi sedikit tulisan yang terpampang disitu, seperti tulisanku. Kucabut note itu dan kuteliti sekali lagi, jelas ini tulisanku. Aku sangat ingat bagaiman aku menulis huruf h kecil dengan kaki sebelah kanan yang melengkung seperti kumis serta tulisan yang ramping, kecil, dan selalu diakhiri titik tiga. Berusaha kuraih memori lagi mengenai masaku mengukir kata-kata di buku ini.
Tunggu sebentar.
Kulihat kembali buku itu, tepat pada bekas note, terpampang satu tulisan besar.
Karya Mahesa
Tunggu sebentar berarti ini koperku? Apa-apaan? Tunggu sebentar ada apa di halaman 35?
Kubuka dengan cepat dan gegabah buku itu, sekilas kulihat pula kumpulan puisi yang selama ini kukenal yang pernah kuingat dalam rangkaian memori. Langsung kusetel headphone disitu juga dan kutemui lagu, lagu favoritku yang menambah beban nostalgia lagi. Untuk Perempuan Yang Sedang Di Pelukan dan tertulis puisi yang aku juga merasa sangat familiar.
Biru
Tertegun diri di gerombol lanun
Terfortifikasi mitologi dan fiksi
Oh, dia yang besar tak cukupkah ruangan ini?
Oh, dia yang penuh kasih tak layakah aku?Kuning, kuning, kuning
Kuning, merah, kuning
Kuning, merah, merah
Merah, kuning, merahTak lagi memendar si api
Semua wanita jelas muda
Rasa gurih di pelupukf mata
Bola pikiranku pun gaduhMerah, merah, hijau
Ungu, hitam, hitam
Hitam, hitam, hijau
Hijau, hitam, biruJelas terpancar sinar fantasi, yang bukan-bukan
Kala biru mengambil peran
Aku siap lawan tuan
Biru adalah anugerah terindah yang pernah kumilikiSemakin bingung aku dibuatnya, ini adalah satu-satunya puisi yang kutemui tak berbau romansa. Kucek kembali isi puisi sebelumnya, dan kusambangi satu-persatu. Hal yang lebih aneh tercetus, setiap kata Kara yang ada tergantikan dengan Ratna.
Semakin kesini sosok Kara semakin abstrak, entah itu hanya perasaanku saja atau memang begitu adanya.
Sialan.