~17~

241 46 5
                                    

Happy Reading!

-

-

-

Woojin melirik gawai hitamnya sejenak dari kegiatan mengamati kumpulan tulisan di depannya. Tanpa sadar helaan napas ia kumandangkan pelan. Namun, siapa sangka kalau adiknya dapat mendengarnya. Padahal ada jarak tiga meter di sana yang memisahkan Woojin di meja makan dan Jeongin duduk di ruang tengah berkutat dengan tugasnya.

"Hyung!"

"Ya, Jeongin? Ada kesulitan?" Woojin mengarahkan perhatian penuh ke Jeongin yang malah menjawabnya dengan gelengan.

"Justru hyung yang kayaknya lagi bingung, deh."

Woojin tertawa kecil, ikatan persaudaraan mereka cukup kuat karena mereka hanya tinggal berdua sejak Jeongin masih tahun ketiga di sekolah dasar. Perbedaan umur yang terpaut tujuh tahun membuat Woojin yang masih berada di sekolah menengah harus membagi kegiatan akademiknya dengan menghidupi Jeongin dan dirinya.

Orang tua mereka meninggalkannya setelah pertengkaran hebat antara keduanya dan Woojin. Jeongin hanya bisa berlindung di balik tubuh sang kakak saat vas bunga melayang hampir mengenai mereka berdua. Tidak ada senyum dan bicara sejak saat itu. Bahkan Woojin tak ingin tahu bagaimana kabar mereka. Hidup Woojin hanya untuk Jeongin dan sebaliknya.

"Iya, ya. Ini kok aku jadi bingung lanjutin ceritanya,"

"Yakin? Bukan karena Chan hyung belum telepon hyung?"

Woojin menengok cepat dan menemukan ringisan tak bersalah Jeongin. Woojin berdiri dan berlari kecil menuju Jeongin, memeluknya gemas sambil mengacak rambut si adik. Jeongin terkikik geli, hanya seperti itu membuat mereka bahagia. Woojin menghentikan kegiatannya dengan memeluk Jeongin erat, sambil berusaha menelaah tugas yang sedang dibuatnya.

"Fisika?" Jeongin mengangguk, "hyung sudah lupa," Woojin tertawa.

"Padahal dulu nilai hyung A, kan?" Jeongin menengok ke kanan menemukan binar mata Woojin yang setia mengamati kertas di depannya.

"Iya juga, ya. Sekarang yang hyung paham cuma bikin buku,"

"Tapi udah tiga, sekarang mau yang keempat," Woojin tersenyum, "Hyung boleh lupa fisika, tapi nggak boleh lupa sama aku."

"Apapun pekerjaan hyung, kakakku itu Kim Woojin, yang udah rela waktu remajanya habis karena harus kerja setelah sekolah. Ataupun harus nggak tidur karena setelah kuliah, terus kerja, terus ngerjain tugasnya. Aku hidup enak karena hyung, jadi aku harus semangat, biar sukses kayak hyung."

Penuturan panjang Jeongin membuat Woojin terdiam. Di benaknya terbayang kilas balik kehidupannya sebelum ini. Dulu, Woojin tidak kenal bermain. Seluruh hidupnya terfokus pada belajar dan menerbitkan senyum adiknya. Jiwanya menghalau rasa marah dan kecewa pada kedua orang tuanya dengan menyibukkan dirinya.

Enam tahun lalu, ia membulatkan tekad. Menulis menjadi salah satu pelampiasan di kala rasa lelahnya yang tiba-tiba menyelimuti. Betul yang dikatakan Jeongin. Tidak tidur menjadi salah satu kegiatannya. Kuliah, kerja, tugas, menulis. Setiap hari tidak pernah ada yang terlewat.

Hingga setahun kemudian karyanya dapat rilis, Woojin senang bukan kepalang. Betul-betul tidak ia sangka. Royalti pertama yang ia dapatkan, ditunjukkan ke Jeongin sambil memeluk erat adiknya. Hingga saat ini, putaran kejadian itu masih membekas dan Woojin ingat selalu.

"Kamu inget nggak waktu hyung pulang, tiba-tiba meluk kamu erat banget." Jeongin mengangguk.

"Aku bingung hyung kenapa, apalagi sambil nangis, aku kira kenapa-kenapa di jalan."

Woojin tertawa. Adiknya pengingat yang baik, sama sepertinya. Woojin memeluk erat Jeongin. Entahlah, hari ini dia sepertinya butuh sedikit kekuatan dari adiknya.

Pelukan Woojin terlepas saat mendengar getardari arah meja makan. Berulang kali membuat Woojin berasumsi siapa yangmenelepon malam seperti ini. Woojin bangkit dan mendekati gawainya. Ibu jarinyaterhenti sejenak saat menemukan nama Chan di sana.

-

-

-

Happiness (woochan) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang