5. The Day

3.6K 178 10
                                    

Ebooknya sudah tersedia di google play guys.

Ebooknya sudah tersedia di google play guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading. Maaf banyak typo

***

Satu bulan tak terasa terlewat begitu saja semenjak lamaran. Hanya saat makan siang di kantin kita bertemu, itupun jika masing-masing dari kami tidak sibuk rapat. Setiap sabtu malam pasti dia mengajakku pergi. Entah itu ke mall untuk sekedar nonton dan makan, atau  pernah suatu kali kami pergi ke tempat wisata puncak, hanya berdua. Dingin-dingin gimana gitu.

Mamah aja sampe berkali-kali telfon, awas loh El jangan sampe keblabasan. Kalo Edo tiba-tiba nakal kamu gigit aja, kalo ngga tendang burungnya. Itu katanya, ih sadis banget sama orang ganteng.

Padahal ngga nginep, kita cuma ngadem disana sambil makan yang anget-anget. Trus pelukan deh, hihihi.

Selama ini kami kencan di manapun, dia masih bersikap sopan santun, belum pernah aneh-aneh. Tapi pernah saat malam minggu terakhir sebelum dipingit, kita jalan ke Mall. Hari itu karena panas, aku memakai blouse of shoulder dan celana skinny jeans. Baru duduk di dalam mobil, dan akan memakai seatbelt. Dia bilang gini.

"Maksud kamu pake baju dan rambut diikat tinggi gitu apa? Kaya ngga pake baju, mau pamer sama cowo-cowo di Mall?"

Tuduhnya datar sambil melirik penampilanku, sebenarnya nada bicaranya biasa. Tapi aku tetap menilai kalau perkataan itu terlalu menyudutkan, menuduh ku yang bukan-bukan. Aku sebenernya langsung kesel, ngga tahu apa berapa lama aku butuhkan buat dandan. Dandan biar siapa coba yang liat, biar siapa yang seneng, dia lah. Aku dandan buat dia. Penginnya aku bilang gitu, tapi yang keluar dimulut justru berbeda.

"Panas Mas,"memang benar akhir-akhir ini Jakarta panas. Jawabku dengan nada seeeee-pelan mungkin.

"Lebih panas ini apa api neraka?"

Mendengar nadanya yang ketus dan nyebelin sampe bawa-bawa api neraka, aku marah. Ngga perlu panjang lebar membela diri, aku keluar dari dalam mobil dan membanting pintunya keras. Bodo amat kalo rusak. Aku lari menuju lift. Niat hati ingin kembali naik ke unitku, tapi kalah cepat dengan dia yang sudah masuk dalam lift.

Aku ngga mau kalah menatapnya tajam. Kami terdiam cukup lama, sampai akhirnya masuk dalam apartemenku. Pria besar itu terus mengikuti. Pasti melihat aksiku melepas sendal dengan anarkis. Lalu melempar tas begitu saja ke sofa. Berjalan ke dapur dengan menghentakkan kaki tanda aku marah dan kesel.

Glek glek

Di bawah tatapannya aku langsung minum air dingin itu dari botolnya, berdiri pula. Lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi channel musik internasional dengan volume keras. Biarin.

The Real Home Is You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang