Meledak

12 1 0
                                    

Meledak. Ga enak rasanya. Sakit. Dan ga ada yang bisa aku lakukan untuk melampiaskan rasa sakit ini selain berdiam diri dan menyalurkannya lewat butiran-butiran bening yang hanya bisa ku keluarkan secara leluasa. Merupakan hal terindah yang pernah ku terima dan miliki dalam hidup ini. Ya, air mata. Hanya air matalah yang menjadi saksi bisu pelampiasan rasa sesak dan sakit yang selama ini ku rasakan. Setelah menangis, rasa sakit itu akan sedikit memudar. Ya, hanya memudar saja, bukan menghilang sepenuhnya. Sedangkan, sisa rasa sakit yang tertinggal itu akan kembali tertampung disini. Di dalam diriku. Dan seiring berjalannya waktu, maka lama kelamaan, rasa sakit yang tertinggal dan tertampung tersebut akan penuh, sehingga ia akan merasa sesak dan akhirnya, ia harus kembali meledak lagi. Dan semuanya, akan kembali lagi ke titik awal. Dan begitulah seterusnya. Ia akan terus kembali meledak, meledak dan meledak sampai si empunya merasa lelah dan menyerah. Barulah, ia akan menghilang dan berhenti meledak selamanya. Atau jika ia tetap tak kunjungan mereda, maka ia akan mencari cara yang lain untuk meledak dan melampiaskan rasa sakit dan sesaknya. Entah itu dengan cara yang lebih kuat, atau justru cara yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Semua itu tergantung dari si empunya. Sampai manakah batasan si empunya untuk mampu menahan rasa sakit dan sesak tersebut dan menemukan cara lain untuk meledakkan yang selama ini ia pendam dan tanam. Semuanya akan kembali padanya.

Jumat, 6 Februari 2015
Wulan R.

Thinker(not)bellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang