Satu

45 14 0
                                    

"Mengenalmu merupakan salah satu bukti kasih sayang Tuhan yang ia berikan pada orang penuh dosa sepertiku."

'2008
Dua belas tahun yang lalu

Mobil box yang didalamnya berisi perlengkapan rumah tangga tiba di depan sebuah rumah yang masih kosong,  nampaknya rumah itu belum pernah disinggahi oleh siapapun.  Percakapan antara orang tua sedang di mulai. 

Entahlah aku tak tahu apa yang sedang orang tuaku bicarakan dengan pak tua seram itu.  Ayahku bilang tempat ini sekarang menjadi rumahku. Awalnya aku tak setuju dengan pindahan ini.  Tapi aku mulai pasrah dan mengikuti kemuan orang tuaku yang ingin pindah,  dengan rengekan anak usia 8 tahun bagi mereka itu tidaklah hal yang mempan untuk mempertahankan rumah lamaku.  Sedih sekali rasanya aku harus meninggalkan kawan-kawan dirumah lamaku itu. Pikirku tentang rumah baru pasti tak akan semenarik rumah lama.

Setelah percakapan lama itu selesai.  Aku dan adikku diajak masuk. Lalu kami membereskan rumah,  seharian penuh kami gunakan untuk membenahi rumah agar nyaman untuk ditempati. Hari mulai gelap dan berbenah pun belum selesai.  Rasanya kakiku seperti akan copot dari persendiannya. 

"ayah apakah masih lama? " rengeku yang sudah lelah karna harus terus mengangkat mainanku yang sebanyak gudang itu.

"tidak sayang sebentar lagi,  semangat ya" ujarnya dengan muka yang sebenernya tersirat kelelahan.

Ah sial aku sangat lelah sekali.  Ingin rasanya aku tidur dan memimpikan hal yang indah saat itu juga, agar aku tak lagi disuruh untuk membereskan rumah besar ini.

Akhirnya berbenah pun selesai,  kamarku sama seperti kamar rumah lama. Tak ada yang berubah.  Bagiku yang berubah adalah pasti aku taakan dapat teman disini.  Butuh waktu lama lagi untuk aku menyesuaikan diri di lingkungan baru. Aku tak suka keramaian.  Bagiku itu sangat bising dan membosankan. Semoga esok akan menjadi hari yang mengasyikan.

***

Kumandang adzan terdengar di telingaku.  Wajar saja mesjid sangat dekat sekali dari rumahku ini.  Aku bangun dengan keadaan nyawa yang belum terkumpul lalu pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan setelah itu melaksanakan sholat subuh.  Sudah menjadi kebiasaanku apabila setelah sholat pasti aku melanjutkan tidur,  walau tak boleh, anehnya aku malah menghiraukan larangan itu.

Setelah bangun,  aku siap - siap untuk berangkat sekolah.  Sama seperti anak lainnya,  aku sarapan terlebih dulu lalu setelah itu berangkat bersama ayahku. Saat ini aku duduk di sekolah dasar.  Pun masih sama seperti anak kebanyakan,  bedanya mungkin aku lebih sedikit pendiam karna bagiku berbicara terlalu banyak itu melelahkan.

Aku merupakan tipe orang yang banyak bicara apabila berada di lingkungan teman yang sudah lama aku kenal dan asyik bila diajak berbicara.  Beda sekali jika aku berada disuatu perkumpulan orang asing. Aku hanya akan tersenyum atau malah tetap menutup mulut apabila orang itu mengajaku berbicara. 

Bel tanda pulang berbunyi,  memecahkan keheningan diruang kelas.  Anak - anak berhamburan meninggalkan kelas,  tersirat di wajah mereka kebahagiaan akan kesenangan yang akan terjadi dirumah saat bermain dengan temannya. Tapi aku tak merasakan hal yang sama seperti itu pada diriku sendiri. 

Selama perjalanan pulang aku hanya memikirkan akan kebosanan yang akan terjadi di rumah baru karna tak akan mudah untuk mendapatkan teman. Namun pemikiran itu salah besar,  saat aku tiba dirumah. Ada seorang anak perempuan yang sepertinya seumuran denganku. Ia menghampiriku,  dengan keberaniannya dia mengajaku berkenalan dengan memberikan uluran tangannya itu.  Dan akupun membalas salamnya.  Dia adalah teman pertamaku disini, Arsya.

Setelah momen perkenalan itu terjadi,  aku jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama Arsya.  Tak jarang ibu memarahiku karna aku terlalu sering bermain.

"Tidak Rey,  kamu tidak boleh keluar.  Diluar panas,  sebaiknya kamu tetap  dirumah saja" omel Ibu kepadaku.

"Yah ibu,  aku bosan dirumah terus.  Aku ingin main bu,  boleh ya,  aku janji tak akan main diluar untuk berpanas-panasan" rengekku pada ibu karna ingin sekali bermain.

"Tidak Rey,  jika ibu sudah bilang tidak ya tidak!", bentak ibu.

Setelah mendengar itu aku langsung lari ke kamarku. Aku sangat tak kuat apabila di gentak seperti itu,  aku menangis sejadi - jadinya.  Entahlah,  rasanya seperti ada peluru yang menusuh badanku dengan bidikan yang pas mengenai uluh hatiku. menyakitkan bila aku mendengar nada tinggi seperti tadi.  Aku menangis dengan menenggelamkan wajahku di dalam bantal. Tak lama dunia seakan terasa menggelap. Ya aku tertidur. Mungkin karna terlalu lelah menangis.

***

Tak terasa sudah 5 bulan sejak aku pindah dari rumah lamaku kesini. Sepupuku Agis juga memilih menetap dirumah baruku,  mungkin karna ada nenekku yang tinggal disini, makanya ia ingin ikut tinggal dirumahku.  Aku dan Agis beda 4 tahun,  aku sudah menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri.

Hal yang sangat menyebalkan apabila saat ia membercandaiku. Ia sering sekali menjahiliku , mungkin baginya sehari tidak mengangguku itu rasanya tidak bisa bernafas.  Entah aku sangat begitu membencinya. Ingin sekali aku melenyapkanya agar aku tak perlu repot-repot menangis saat dia beraksi dengan keusilannya itu. Jika Planet Mars sudah bisa dijadikan Planet layak huni.  Mungkin aku akan mengurus surat kepindahan untuknya.

Kata orang, anak laki-laki mudah untuk memperoleh teman walau di tempat asing sekaligus. Benar saja. Tak genap 3 hari Agispun sudah mendapatkan teman baru. Arkana Anandra. Ia merupakan sosok laki-laki periang dan penyayang.
Arkana sering bermain denganku di rumah, Sebenarnya dia di ajak oleh Bang Agis, tapi tak tahu mengapa ia malah bermain denganku bukan dengan Abangku.

Kami senang menghabiskan waktu hanya untuk bermain berdua saja. Walau aku dan Arka memiliki perbedaan umur 4 tahun sama seperti perbedaan umurku dengan sepupuku, tetapi itu bukan penghalang kita untuk bermain.
Seiring berjalannya waktu, aku merasa nyaman dekat dengan Arka. Nyaman karna aku merasa dilindungi oleh kakaku yang lain. Sejujurnya jika aku dituntut untuk memilih Agis atau Arka oleh Tuhan. Aku akan memilih Arka. Arka tak pernah membuatku menangis seperti Agis dan sifat Arka jauh lebih baik daripada sepupuku itu.

Jika seandainya aku tak pindah kesini, mungkin aku tak akan Pernah mengenalmu Arka. Mengenalmu merupakan salah satu bukti kasih sayang Tuhan yang ia berikan pada orang penuh dosa sepertiku ini.

Sebuah Cerita TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang