Tujuh

0 0 0
                                    

"Dalam perjalanan kehidupan, teman adalah kepingan yang sangat indah"

5 bulan sudah aku dan Arka terpisah oleh waktu dan jarak. Tentunya tanpa komunikasi. Hpku masih diambil oleh ibu. Aku juga tak terlalu meperdulikannya karena aku masih bisa memberikan kabar pada Arka walau hanya beberapa menit saja lewat Hp temanku.
Hubunganku dengan ibu semakin lama semakin memburuk.  Tak ada lagi kehangatan terjadi didalam rumah. Tak ada juga percakapan antara aku dengan ibu  layaknya ibu dan anak kebanyakan. Kami berbicara seperlunya saja. Ego kami sama-sama tinggi. Tak ada yang bisa mengalah.
Sebenarnya aku menginginkan berbicara dengan ibu. Meleraikan semua masalah yang terjadi agar keadaan ini berubah menjadi semula. Tapi apa yang aku harapakan itu sangat sulit. Aku masih tak berani mengeluarkan kata maaf dari mulutku.
Aku lebih senang menghabiskan waktu di dalam kamar, sendirian. Menangisi hari-hariku yang amat menyedihkan ini. Hal yang bahagia adalah mengingat momen-momen saat bersama Arka. Kata-katanya yang membuatku bersemangat untuk menjalani kehidupanku sekarang. Aku tak tahu apa jadinya aku bila Arka tak memberikan kata-kata penyejuk itu.
"Semakin lama kau semakin membuat Ibu marah Rey,  sebegitu pentingnya kah Arka bagimu? Sampai kau tak pernah keluar kamarmu?" ucap Ibu saat masuk ke dalam kamarku.
"Tidak" ucapku singkat, padat dan jelas. Aku sangat malas sekali untuk berdebat dengan Ibu saat ini. 
"Jika kau begini terus ibu akan memasukanmu ke asrama Rey" ancam ibu.
Aku terdiam,  mencerna apa yang ibu katakan. Asrama? Aku tak terlalu suka tempat itu. Bukan tak suka tapi aku orang yang sulit beradaptasi. Jauh dari orang tua,  jauh dari orang yang kukenal. Aku tak bisa. Membayangkannya saja aku sudah tak ingin.  Aku tak mau jika harus lebih jauh dari rumah.
"Tidak mau Bu,  mengapa ibu selalu memaksaku" bentakku pada ibu.  Jujur aku sangat sakit sekali,  membentak ibuku seperti itu. Bagiku amat menusuk hati. Terlihat air mata keluar dari mata indah milik ibu.
Maafkan aku Bu,  aku tak bermaksud membuatmu menangis, aku hanya tak ingin jauh dari tempat tinggalku. Ibu hanya perlu memberiku arahan dengan lemah lembut. Aku pasti akan luluh bu. Bukan dengan cara seperti ini.
"Ren, bawa Rey ke psikolog, sepertinya ada yang salah dalam dirinya" tambah nenekku. Jleb. Hatiku seakan tertusuk pedang. Bagaimana bisa nenekku sendiri berbicara seperti itu. Seolah-oleh memang aku seperti orang gila yang harus diajaknya ke ahli kejiwaan.
Aku sudah merasa tak sanggup lagi,  kucurahkan semua yang ada dalam pikiranku.  Tentang hubunganku dengan Arka,  maksud aku untuk berhubungan dengannya. Dan semua keganjalan yang ada dalam hatiku ku keluarkan semuanya saat itu.
Ibu menangis,   aku tak kuasa melihat ibu menangis. Pertahanan tangisku pun akhirnya ikut runtuh. Aku minta maaf tuhan, sudah membuat orangtuaku menangis. Aku tahu ini dosa besar.  Dan aku ikhlas menanggungnya.
"Aku minta maaf bu" ucapku di akhir pembicaraan.
"Iya susah tak apa-apa,  ibu juga minta maaf ya.  Ibu tau memang ibu salah" jawab ibu
"Tidak bu,  aku yang salah. Aku yang terlalu egois" elakku.
"Iya sudah sudah tak ada yang salah" ujar ibu sambil memelukku.
Malam itupun masalah kami selesai. Sudah tak ada lagi kesunyian dalam rumah. Walau kecangunggan masih ada tapi tetap suasana sudah mulai membaik. Hpku pun sudah dikembalikan oleh ibu. Lega sekali rasanya bisa mencurahkan semuanya.
"Aku minta maaf bu, rasanya aku seperti anak yang tak berguna sekali". Ucapku dalam hati sebelum tidur.
***
Hari-hariku sudah berjalan dengan baik. Hubunganku dengan Arka pun masih tetap berlanjut. Peranku saat ini sangat dibutuhkan sekali olehnya. Pasalnya dia gagal masuk tes TNI yang merupakan cita-cita masa kecilnya.
Awalnya aku takut akan cita-citanya itu, aku takut jika nantinya ia akan gugur di medan perang dan meninggalkanku lagi sendirian. Aku melarangnya, tapi ia meyakinkanku bahwa setiap orangpun pasti akan mati, apapun pekerjaan yang dilakukan olehnya.  Baik yang keras ataupun yang nyaman semuanya akan merasakan kematian. Akhinya akupun mengalah.
Kegagalan itu membuat keterpurukan terlihat diwajahnya. Akupun merasa gagal menjadi pendampingnya saat ini. Melihat ia menangis dan tak nafsu makan mebuatku bersedih. Awalnya ia tak mau menemuiku,  karena takut aku merasa kecewa karena kekasih kebanggannya itu tak berhasil lolos. Saat kupaksa akhirnya ia mau menemuiku dimalam hari di sebuah tempat makan dekat rumahku.
"Sabar ya Ka,  mungkin belum takdirnya. Tahun depan kamu coba lagi ya" ucapku menenangkannya. Sembari mengelus tangannya.
"Iya Rey,  aku minta maaf ya" ucapnya lirih.
"Ya tuhan mengapa ia harus meminta maaf padaku." Ucapku dalam hati.
"Kau tak perlu meminta maaf,  aku akan marah jika kau meminta maaf lagi" ucapku padanya.
"Aku sangat merasa gagal sekali Rey, gagal untukmu dan gagal untuk kedua orangtuaku" jawab Arka.
"ya ampun,  gagalnya kau saat ini tak membuat dunia runtuh. Masih ada kesempatan lain. Asal kau yakin kau pasti akan bisa" kataku. Ia lantas memelukku. Memeluk dengan erat.  Aku tau pelukan itu bermakna bahwa ia sangat sedih sekali. Kubalas dengan pelukan. Pelukan yang kuharap bisa menenangkan hatinya.
Jam pun sudah menunjukan pukul 20.30 WIB. Waktunya aku untuk pulang.
"Sudah setengah sembilan malam,  kita pulang yuk. Istirahatkan pikiranmu,  jangan terlalu dipikirkan ya" ucapku.
"iya Rey,  makasih ya. Kau harus terus mendukungku ya Rey kumohon." pintanya dengan muka yang lucu sekali.
"Tak kau pintapun aku akan melakukannya Ka" jawabku bersamaan dengan mencubit hidung mancung yang dimilikinya. Lucu sekali melihatnya meminta hal seperti itu. Permintaan yang sebenarnya memang akan kulakukan walau tak diminta sekalipun. Ia lantas mengantarku kembali ke rumah.
"Selamat malam Arka" Ucapku saat sudah tiba di depan rumah.
"Selamat malam juga Reinaku" jawabnya dengan senyum.
***
'2018
Saat ini aku sudah mulai memasuki masa SMA.  Masa yang kata kebanyakan orang adalah masa penuh keindahan terjadi disini. Tapi yang ku tau masa SMA adalah masa penentuan. Jati diri untuk masa depan ditentukan disini. Jadi aku harus konsisten dan fokus agar bisa mencapai impianku itu.
Hubunganku dengan Arka masih berjalan baik. Kadang perdebatan kecil terjadi. Dan perdebatan besar pun kadang terjadi. Egoku masih sulit untuk dikontrol. Tak jarang kata perpisahan itu muncul dari mulutku. Tapi Arka selalu mengalah,  mengalah agar perpisahan antara kita tak terjadi. Ia mampu menguasai egoku saat aku marah. Hal itulah yang menyebabkan hubunganku terus berlanjut.
Arka juga masih terus berjuang, berjuang untuk menjadi abdi negara. Ia sangat menginginkan impian itu,  impian yang didambakan kedua orangtuanya sekaligus impiannya sejak kecil. Aku juga merasa memiliki kewajiban untuk menemaninya. Memberikan semua semangat yang ku punya untuknya. Sedih sekali melihatnya terpuruk akibat kegagalan. Seakan hal itu juga membunuhku .
Selama aku di SMA aku terpisah dengan Siska. Kali ini Siska mendapatkan kelas yang berbeda denganku. Walau begitu kami tetap menjalin hubungan pertemanan dengan baik. Baru kali ini aku dan Siska ditempatkan di kelas yang berbeda. Awalnya aku tak  bisa menerima kenyataan, tapi semakin kesini aku sudah semakin terbiasa. Entahlah, rasanya tak sekelas dengan Siska seperti ada yang hampa.
Sementara itu Fany dan Humaira memilih untuk berbeda sekolah denganku dan Siska. Aku tak tahu jelas mengapa, mungkin karena memang jarak yang menjadikan kami terpisah dan mungkin juga karena impian kami yang berbeda.
Awal masuk SMA, aku sulit beradaptasi. Tapi Arka bilang jika kau begitu terus kau tak akan mendapatkan teman. Akhirnya aku memutuskan untuk berkenalan dengan yang lain. Meski malas tapi ku paksakan. Hingga akhirnya pertemanan kami menjadi sangat akrab.
Tak bisa kusebutkan satu persatu kawanku di SMA, karena memang banyak sekali . Semua memiki karakter yang unik. Karakter yang bisa membuatku bahagia tiap saatnya. Lelucon yang mereka keluarkan akan sangat membantu jika kesedihan meliputi salah satu diantara kami. Berkat mereka, masa SMA yang dikatakan orang sebagai masa yang indah memang terbukti dan benar adanya.
Tak bisa kubayangkan apa jadinya aku tanpa mereka. Mungkin kehidupanku di sekolah menengah ini terasa hambar begitu saja. Dalam perjalanan kehidupan, teman adalah kepingan yang sangat indah.

Sebuah Cerita TentangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang