Part. 7

18 7 0
                                    

Kedua tangan ia gunakan sebagai tumpuan bantal.

Bukan Reihan namanya jika masuk kerumah langsung menyandarkan diri ke sofa ruang tamu.

"Dari mana saja kamu Rei?" Tanya Liana, mama Reihan yang sudah datang dengan kedua tangan ia taruh di pinggang.

"Eh, ma. Habis dari luar" jawab Reihan langsung bangkit dari sofa. Ia hendak berjalan menuju kamar dengan senyum absurd-nya.

Liana menaikkan satu alisnya, "Luar mana?" Tanyanya kembali seperti mengintimidasi.

"Ah. Ada deh, Rei nggak mau bilang sekarang. Entar aja kalau udah sampai waktunya. Udalah, Rei capek. Rei ke kamar dulu ya ma,"

Hampir saja Liana hendak berucap, Reihan sudah memeluk mama-nya terlebih dulu kemudian langsung berjalan menaiki anak tangga.

"Dasar anak itu,"

Di dalam kamar, Reihan langsung membaringkan tubuhnya di kasur king size miliknya.

Tiba-tiba pikiran terlintas di benaknya soal Arlin.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Mengingat pertanyaan itu membuat Reihan cekikikan sendiri. "Gue bodoh apa? Gila apa gue? Ya jelas-jelas belum pernah lah" koreksinya pada diri sendiri.

Ia kemudian bangkit untuk melepas jaket dan menaruhnya di dalam lemari. Namun matanya menajam ketika melihat sesuatu berwarna putih di balik gantungan bajunya.

"Eh, nggak pernah lihat nih kotak"

Ternyata itu sebuah kotak berukuran sedang. Reihan mengambilnya. Ia duduk bersila di atas kasur. Tak ada motif dari kotak itu, hanya putih polos.

"Gelang?" Reihan mengerutkan kening ketika mendapati gelang berwarna silver. Terlihat jika gelang itu adalah gelang perempuan.

"Ini emas putih," gumamnya.

Tak hanya itu, satu foto yang seketika menggetarkan batin juga pikirannya. Juga diary book kecil bersampul cokelat.

Reihan terperangah mengingat masa lalu. Tak sepenuhnya mengingat memori masa lalu itu. Jantung Reihan berdegup kencang.

Sudah ia duga, ketika pertama menatap gadis itu, perasaan Reihan berbeda dari pada sebelumnya.

Jadi benar, feeling gue tentang dia..

🌷

Langit sepertinya tak bersahabat. Arlin melajukan sepedanya agak cepat. Tetapi sayangnya langit seperti tak berada di pihaknya.

Hujan mengguyurnya dengan deras, Arlin sempat terkejut hingga ia tak kuat lagi menerjang derasnya hujan.

Beruntunglah Arlin berteduh pada halte bus. Nampak sepi, namun tidak masalah, toh itu menguntungkan baginya.

Arlin menguatkan pelukan tangan dengan tubuhnya. Angin bisa sampai menusuk ke tulang-tulangnya. Jarang sekali di pagi hari muncul hujan.

Walau langit hari ini tengah mewakili perasaannya, sejujurnya Arlin tetap tak suka dengan hujan. Karena baginya kenangan buruk di hidupnya berawal dari hujan.

"Gue benci," gumamnya.

Tangan itu berhenti seketika mendengar Arlin mengucapkan itu.

Reihan yang hendak mengenakan jaketnya ke Arlin mengurungkan niatnya menatap nanar Arlin yang berada di depannya.

Tak diketahui oleh Arlin jika Reihan berada di belakangnya. Percayalah, Reihan berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Hujan lebat sama menerjang dirinya, dan saat itulah ia melihat Arlin tengah berteduh di halte.

Reihan menghampirinya, sejujurnya niatnya itu ingin mengejutkan Arlin dengan menaruh jaket di pundak Arlin agar Arlin tak kedinginan. Namun tiba-tiba tangannya berhenti karena mendengar ucapan lirih Arlin.

Merasakan jika ada sesuatu di belakang, Arlin membalikkan badan. Ia menaikkan kedua alisnya ketika melihat Reihan yang termenung menatapnya.

"Reihan? Lo, ngapain?"

Jika pun itu elo.. berarti dugaan gue nggak salah, Arlin.

"Hei!" Arlin melambaikan tangannya tepat di depan Reihan agar Reihan sadar.

Sepersekian detik Reihan menggeleng pelan, "Pakai nih," ia akhirnya memakaikan jaketnya pada Arlin.

Arlin sempat menolak tapi Reihan memaksa, "Udah pakai aja"

Hujan masih setia menemani mereka. Tak ada percakapan yang timbul. Hanya desiran tetes hujan dan angit yang menusuk.

Tak ada perasaan gusar tentang telat berangkat sekolah walau waktu menunjukkan pukul 06:54. Yang ada di benak mereka kini hanyalah rasa asing yang dulu pernah mereka alami dalam hujan. Namun sayangnya mereka belum dapat menemukan perasaan apa itu.

"Arlin.." Reihan berusaha mencairkan suasana.

"Hm?" Arlin melirik Reihan dengan wajah sendunya.

Mata mereka bertemu kembali. Jarak yang cukup dekat bagi mereka. Otak Reihan berpikir keras kala hatinya meluruh melihat Arlin yang sekarang ini.

Entah apa yang terbesit di otak Reihan, ia langsung saja menarik tangan Arlin menuju sepeda yang disandarkan Arlin.

"Eh—"

Reihan menaiki sepeda itu, "Ayok naik,"

Arlin melotot, walau hujan kali ini sudah sedikit lebih baik dari pada awalnya yang sangat deras, namun jika menaiki sepeda menuju sekolah dengan situasi seperti ini tentunya akan membuat seragam basah kuyup.

"Tapi kan—"

"Udah naik aja ayok!"

Arlin menggigit bibir bawahnya, ia ragu, namun di sisi lain ia yakin akan apa yang dilakukan Reihan.

Arlin menurut saja. Kakinya bertumpu pada kawat besi di tengah ban sepeda belakangnya, ia berdiri dan berpegang pada pundak Reihan.

Dengan kuat Reihan mengayuh sepeda Arlin. Tetes air dari langit mereka terjang.

Timbul perasaan tersendiri dalam benak Reihan juga Arlin. Sedikit demi sedikit Reihan mengingatnya.

Gue harap gue nggak salah, dan gue harap elo ingat, Arlin. Gue yakin gue pernah ngerasain perasaan kayak gini dulu.

Muncul perasaan tersendiri dalam benak Arlin. Walau ia tak tahu pasti apa, namun rasanya benar-benar kuat.

Kenapa rasanya seperti ini, Reihan.. sebenernya lo itu siapa?

_____

Follow
Vote
Comment
Enjoy
Thank you 🌻
Have a nice day uri readers💜

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang