Part. 2

27 7 0
                                    

"Hallo. Nama gue Reihan. Reihan Rizaski. Kalian bisa panggil gue Reihan. Salam kenal"

Mata Arlin bertemu dengan laki-laki itu. Reihan. Teduh yang dirasa ketika melihat mata itu, mata cokelat hazel yang indah. Namun kenapa tiba-tiba perasaan Arlin seperti tidak enak. Ah bukan, rasanya berbeda. Kenapa?

"Baik. Kalian bisa tanya-tanya kepada Reihan setelah jam pelajaran berakhir. Sekarang kita mulai pelajaran saja. Untuk Nak Reihan, duduk dulu di belakang Arlin, bangku barisan keempat ya"

Dengan sopan Reihan menunduk dan berjalan menuju bangku kosong belakang Arlin. Memang bangku itu kosong karena satu siswa dulu yang pindah sekolah.

"Oh iya, untuk Reihan, seragamnya nanti bisa diambil di ruangan, tolong ketua kelas—"

"Ketuanya nggak masuk bu," potong Wendi, cewek dengan aksi blak-blakan dan terkesan sedikit berandal.

"Sakit bu!" Imbuh Tio.

Bu Simia mengernyit, "Sakit apa emang? Tuh anak bisa sakit juga?"

"Sakit perut bu, gara-gara makan burger cabai" cletuk Jaka yang dibalas ketawa semua kelas kecuali Arlin yang hanya tersenyum miring.

Bu Simia hanya geleng-geleng kepala, "Dasar Diego. Ya sudah. Arlin, nanti kamu antar Reihan ya?"

Arlin yang awalnya santai, kini tercekat mendengarnya, "Saya?"

"Iya. Kamu. Tolong anterin nanti istirahat pertama ya?" Pinta Bu Simia kembali.

Arlin hanya menghela nafas pelan, "Iya bu"

"Baik. Kalau gitu kita buka buku paket halaman 92"

"Pft.. Lin, kayaknya Bu Simia lupa sama PR-nya" bisik Rani dengan menutup mulutnya agar tidak terlihat oleh Bu Simia.

Arlin hanya menempatkan jari telunjuknya ke bibir, "Sht.. diem,"

"Arlin.."

Mendengar itu Arlin hanya mengerutkan kening, kayaknya ada yang manggil nama gue deh.

"Arlin.."

Tuh kan ada yang manggil nama gue.

"Arlin.."
Merasa dipanggil beberapa kali, Arlin menoleh sedikit ke belakang. Ia melihat Reihan yang tersenyum padanya.

"Arlin, kan? Salam kenal. Gue Reihan" ucapnya lirih.

Merasa sedikit gugup, Arlin hanya mengangguk saja dan langsung beralih menghadap ke depan. Karena ia sudah merasakan perasaan yang aneh, saking anehnya Arlin sempat keringat dingin, namun untung saja lama-kelamaan mereda karena sudah fokus pada pelajaran.

🌷

"Rei, ke ruangannya sama gue aja. Gue dulu mantan anggota OSIS, jadi lebih tahu" bujuk salah satu cewek yang terkenal sedikit kemayu, Agea.

"Sorry, tapi gue udah sama Arlin" tolak Reihan dengan senyum khas yang menampilkan kesan manis.

Arlin yang tak sengaja melihatnya jadi teringat akan sesuatu, tapi sayangnya dia tidak tahu apa itu. Ia merasa seperti tidak asing.

"Arlin.."

Pikirannya buyar, Arlin langsung sadar jika sedari tadi Reihan sudah ada di depannya.
"Tolong anterin gue ya?"

Arlin hanya mengangguk kecil. Ia berjalan mendahului Reihan, "Ayok" ajaknya kemudian.

Dengan senyum Reihan mengikuti langkah Arlin keluar kelas.

Di samping itu, Agea mendesis kesal. Ah benar, Agea benci dengan Arlin. Lebih tepatnya dia itu iri.

"Kenapa harus sama tuh cewek sih!" Kesal Agea kepada kedua temannya. Devia dan Stella.

"Tauk tuh anak. Cantik juga enggak" imbuh Devia seraya mengelus pundak Agea.

"Hm.. tapi kalau di pikir-pikir, Arlin itu anggun loh. Dia itu sebenarnya cantik dan manis" terang Stella yang tentu saja dibalas tatapan maut Devia.

Agea menoleh menatap Stella, "Ngomong apa barusan?"

Stella memutar bola mata malas, "Ya secara Arlin itu sebenarnya cantik. Lo aja yang nggak mau ngakuin"

"Argh!" Agea pergi meninggalkan kedua temannya, "Eh, Gea.. ish, elo sih" kesalnya pada Stella kemudian berjalan menyusul Agea.

"Lhah? Gue salah apa?" Tanyanya pada diri sendiri yang tentu saja seperti orang blo'on.

🌷

"Kalau boleh tahu, nama lengkap lo siapa?" Reihan memecah keheningan ketika berada di ruang serbaguna.

Arlin yang baru saja menata peralatan di laci langsung berhenti sejenak kemudian melanjutkannya kembali tanpa ingin membalas pertanyaan Reihan.

Reihan yang merasa diasingkan kini bangkit dan berjalan mendekat, Arlin yang merasakan kehangatan di belakang tubuhnya langsung berbalik dan terkejut mendapati Reihan ada di belakangnya.

"Ngapain lo?"

"Lha elo ngapain?" Balik tanya Reihan.

"Ck, gue beres-beres" ketus Arlin.

"Lo tau letak barang-barang itu?" Tanya Reihan kembali.

"Tau. Karena gue mantan ketua OSIS, jadi tahu semuanya," ujarnya yang kemudian Arlin berhenti, "Maksudnya cukup tahu semuanya" koreksinya.

Reihan yang melihat gerak-gerik Arlin jadi merasakan sesuatu. Sesuatu yang berbeda namun pernah dirasakan sebelumnya.

"Ini jas elo. Coba pakai" Arlin menyodorkan jas sekolah berwarna biru dongker dengan garis merah di pinggir.

"Satu kotak ini seragam juga sepatu. Udah satu paket. Udah gue tulis sesuai jadwal, baca sendiri. Bisa baca kan?"

Arlin berjalan keluar ruangan karena dia peka akan Reihan yang ingin mencoba seragamnya satu persatu.

Reihan hanya mengerucutkan bibir mendengar dirinya sudah diejek. "Kalau gak bisa baca ngapain gue bisa sampai SMA" gerutunya yang dirasa hanya dapat dia dengar sendiri, padahal Arlin juga mendengarnya, hanya saja Reihan tak tahu.

Sudah sepuluh menit, lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Arlin merogoh saku roknya yang dirasa ada sesuatu.

"Apaan nih?"

Ternyata itu adalah name tag. Dia lupa memberikannya pada Reihan. "Ck, lupa lagi"

Baru saja Arlin hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu itu sudah terbuka dan menampakkan sosok yang terlihat berbeda dari sebelumnya.

Arlin sempat terkejut namun dia berhasil menahan diri.

"Gimana? Cocok nggak?" Reihan meminta pendapat pada Arlin. Jujur Arlin tercekat kagum, hingga otaknya menyadarkan dirinya untuk memberikan name tag pada Reihan. Tapi entah kenapa hatinya menuntun gerak tangan Arlin untuk memasangkan name tag itu di dada Reihan. Lebih tepatnya dipasang di jas Reihan.

"Ow, name tag gue. Makasih ya Arlin" ucap Reihan seraya tersenyum kepada Arlin. Benar-benar manis bagi siapapun yang melihatnya karena kelopak mata itu juga menghiasi saat tersenyum.

Sorot mata itu bertemu, perasaan mulai muncul dalam diri mereka masing-masing. Apalagi Reihan, dia merasa jika perasaan ini benar-benar Dejavu.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dari mulut Reihan.

Arlin mengerutkan kening, ia tidak tahu apa yang dimaksud Reihan. Tapi sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.

Buru-buru Arlin memalingkan pandangannya. Karena jika tidak mungkin pipinya akan merona.

"Bentar lagi bel masuk"

Arlin berjalan meninggalkan Reihan yang tengah membawa box berisi seragamnya.

_____

MEMORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang